Setara Institute Tanggapi Kasu Pembantingan Mahasiswa: Konsep Presisi Polri Tidak Berjalan

3 menit membaca

KABUPATEN TANGERANG (SBN) — Media sosial kembali menjadi sarana yang menunjukkan wajah buruk kinerja aparat kepolisian. Melihat hal itu Setara Institute menyesali insiden kekerasan yang terjadi terhadap peserta aksi demonstrasi yang terjadi di depan kantor Bupati Tangerang, Provinsi Banten pada Rabu, 13 Oktober 2021.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie mengatakan, belum lama ini, publik menyoroti buruknya kinerja Polri, khususnya Polres Luwu Timur dalam penanganan kasus dugaan pencabulan hingga melahirkan #PercumaLaporPolisi yang viral di media sosial dan media massa.

Masyarakat semakin resah, ketika beredar video yang memperlihatkan kebrutalan aparat kepolisian, dalam penanganan massa demonstrasi kembali tersebar di media sosial.

Mayoritas publik mengutuk insiden kekerasan yang dialami mahasiswa, saat berdemonstrasi di depan kantor Bupati Tangerang itu.

Dalam video yang telah beredar luas tersebut, terlihat seorang aparat kepolisian membanting salah seorang massa aksi dengan posisi badan belakang menghantam trotoar. Dalam video itu juga, terlihat akibat dari bantingan, korban mengalami kejang-kejang dan kehilangan kesadaran.

Menurut Ikhsan, massa demonstrasi yang seharusnya dilindungi hak-hak konstitusionalnya, dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi. Justru disambut bantingan dan tindakan kekerasan lainnya oleh aparat di lapangan.

“Setara Institute berpandangan bahwa tindakan kekerasan, dalam kasus yang baru terjadi berupa bantingan, yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap massa aksi jelas tidak dapat dibenarkan dan tidak boleh ditolerir. Tindakan aparat yang demikian jelas mencerminkan dehumanisasi terhadap massa demonstrasi yang hak-haknya di jamin Konstitusi,” ujar Ikhsan dalam siaran pers yang diterima SuaraBantenNews, Kamis, 14 Oktober 2021.

Ia melanjutkan, tindakan aparat yang membanting salah satu peserta aksi demonstrasi tersebut tentu hanya salah satu contoh, dari berbagai tindak kekerasan aparat dalam setiap penanganan demonstrasi.

“Hal ini menunjukkan minimnya implementasi konsep Presisi Polri di lapangan, terutama oleh anggota-anggota. Polri yang humanis sama sekali tidak tercermin dalam tindakan-tindakan demikian,” jelasnya.

Ia menyarankan, Kapolri semestinya melakukan evaluasi terkait visi Polri Presisi terhadap berbagai jajarannya di daerah. Termasuk merancang indikator-indikator terukur yang wajib dipedomani oleh setiap anggota Polri.

“Tindakan kekerasan aparat yang terlihat jelas dalam video yang telah beredar jangan sampai direduksi hanya dengan video-video yang memperlihatkan kondisi korban yang telah atau masih baik-baik saja. Selain rentan di rekayasa dan penuh tekanan, model penyelesaian demikian juga melahirkan impunitas aparat dan menihilkan pertanggungjawaban,” jelas Ikhsan.

Dilanjutkannya, cara-cara konvensional menutupi praktik kekerasan seperti ini hanya menimbulkan kecaman lanjutan dari publik dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

“Selain menindak dan menghukum pelaku kekerasan, Kapolri harus benar-benar memberikan sanksi kepada Kapolres Kabupaten Tangerang sesuai derajat kelalaiannya. Jika perlu copot dari jabatan agar menjadi preseden dan efek jera bagi pimpinan-pimpinan Kepolisian daerah yang tidak tegas mendisiplinkan anggota-anggotanya dalam bertugas,” pungkas Ikhsan. (Haris)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan