Kasus Kekerasan Anak di Kabupaten Tangerang Masih Mengkhawatirkan

Joe
4 Jan 2021 19:03
2 menit membaca

KABUPATEN TANGERANG (SBN) — Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Tangerang tahun 2020 menurun dibandingkan jumlah dua tahun sebelumnya. Namun, bersamaan dengan itu pemerintah daerah khawatir bahwa jumlah tersebut merupakan fenomena gunung es.

Berdasarkan data yang dihimpun SuaraBantenNews dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kabupaten Tangerang, jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak tahun 2018 mencapai 245 kasus, tahun 2019 mencapai 275, dan tahun 2020 mencapai 142 kasus.

“Memang ada penurunan hingga 48 persen. Namun, kami bukannya senang, malah khawatir,” kata Kepala DPPPA Kabupaten Tangerang Asep Jatnika kepada SuaraBantenNews, Senin, 3 Januari 2021.

Asep mengungkapkan, meskipun jumlah kasus kekerasan turun, di sisi lain ada kekhawatiran apakah ini merupakan fenomena gunung es. Artinya, bisa jadi masih banyak kasus yang belum atau tidak dilaporkan. Karena itu, pihaknya tidak mengetahui secara menyeluruh jumlah kasus kekerasan yang sebenarnya.

Menyikapi permasalahan tersebut, lanjut Asep, pada 2021 ini pihaknya berkerja sama dengan Diskominfo Kabupaten Tangerang dalam mengakses menu “Sayang Barudak” (Sabar) di situs terpadu tangerangkab.go.id. Dengan adanya layanan pelaporan ini diharapkan muncul laporan ketika terjadi kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.

“Harapannya, semoga ini menjadi sebuah angka real kasus kekerasan yang terjadi di Kabupaten Tangerang,” ungkapnya.

Jadi, kata Asep, semua elemen masyarakat sudah bisa meng-update dan melaporkan sehingga pada tahun 2021 jumlah kasus bisa melonjak naik. Tentu hal ini tidak menjadi masalah. Justru ini yang diharapkan oleh pemerintah.

“Dengan demikian, korban bisa diberikan trauma healing. Jika tidak demikian, takutnya mereka (korban) bisa jadi pelaku di kemudian hari,” ujarnya.

“Target pemberian trauma healing insyaallah telah mencapai 100 persen,” tandasnya.

Ia menuturkan, indikasi kesembuhan seorang korban didasarkan pada laporan psikolog, sedangkan pemberian layanan trauma healing berat atau ringan dilakukan setelah adanya observasi terhadap korban. Ada yang cukup diberikan sebanyak satu-dua kali bisa sembuh, tergantung kondisi kejiwaan anak itu sendiri.

“Ada korban yang mendapat trauma healing hingga 10 kali dan hingga kini masih berlangsung pelayanan,” tutupnya. (Restu/zie/Atm)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan