Sungguh Ngeri, Kohabitasi Semakin Diminati?

waktu baca 3 menit
Rabu, 11 Des 2024 16:44 0 115 Rikhi Ferdian Herisetiana

Oleh: Erna Ummu Aqilah

Istilah kohabitasi, (kumpul kebo) belakangan ini santer terdengar kembali. Kohabitasi, merupakan praktik hidup bersama sebagaimana suami istri tanpa adanya ikatan perkawinan.Para pelaku bukan hanya antar lawan jenis, bahkan sesama jenis nauzubillah mindzalik.

Hak Asasi Manusia (HAM) berpendapat, negara harus menjaga keseimbangan antara menghormati hak-hak individu dan menegakkan norma-norma sosial, di tengah masyarakat. Karenanya setiap peraturan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kebebasan pribadi, sekaligus memastikan tidak melanggar hak-hak dasar warga negara, sebagaimana menurut UU 39 tahun1999 tentang HAM.

Di Indonesia terdapat dua pasal KUHP yang berisi tentang hukuman pidana bagi pelaku kohabitasi. Di antaranya pada pasal 416 dan pasal 411. Pada pasal 416, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dipidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Sedangkan menurut pasal 411, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda kategori II. Yang tertuang dalam pasal 79 1 UU KUHP, denda kategori II pada pelaku kohabitasi adalah Rp 10 juta.

Namun, tindak pidana terhadap pelaku kohabitasi ini hanya berlaku ketika adanya laporan dari pihak keluarga (orangtua), atau pasangan sah dari pelaku. Akan tetapi, pengaduan kohabitasi dapat ditarik kembali oleh pelapor, selama pemeriksaan sidang belum dimulai.

Maraknya pelaku kohabitasi saat ini, merupakan buah dari penerapan sistem sekuler kapitalis, sehingga melahirkan berbagai bentuk kebebasan di antaranya, kebebasan berpendapat dan berperilaku. Tak heran jika mereka bebas berbuat sesuka hatinya tanpa mempertimbangkan halal haram maupun dampak kedepannya.

Menurut para pelaku kohabitasi, mereka memilih melakukan itu semua dengan berbagai alasan. Di antaranya beranggapan ikatan perkawinan sesuatu yang sarat berbagai norma dengan prosedur mengekang.

Juga mahalnya biaya pernikahan, dengan berbagai tuntutan dari pihak keluarga pasangan yang harus dipenuhi, menjadikan faktor kaum muda enggan untuk menikah. Ditambah rumitnya prosedur perceraian yang menyita banyak waktu, tenaga, maupun biaya menjadi faktor lainnya.

Aneh memang, Indonesia dengan penduduk mayoritas beragama Islam namun kohabitasi makin diminati. Itu semua akibat dicampakkannya agama dalam urusan kehidupan. Sehingga tidak takut lagi dengan aturan Tuhan.

Dampak yang ditimbulkan dari perilaku kohabitasi sungguh sangat luar biasa diantaranya, rusaknya nasab, ancaman penyakit menular seksual, juga kerusakan organ reproduksi, sanksi sosial, belum lagi ancaman azab Allah SWT.

Sebab Allah SWT telah mengingatkan kita “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(QS AL- Isra 17:32). Sebab zina merupakan perbuatan binatang, yang tidak memiliki akal sehat, sedangkan kita merupakan makhluk sempurna dengan dikaruniai akal.

Islam telah mengatur dengan sedemikian rupa, agar manusia kembali dalam fitrahnya.
Pertama: Setiap individu diwajibkan untuk meningkatkan ketakwaan agar senantiasa terjaga dari kemaksiatan. Memahami betul, cara pergaulan dengan lawan jenis seperti larangan berdua-duaan dengan yang bukan mahram, menutup aurat secara sempurna ketika dalam kehidupan umum, menjaga pandangan yang bukan haknya.

Kedua: Peran aktif masyarakat dan lingkungan dengan kesadaran untuk menjalankan aktivitas amal ma’aruf nahi munkar, sehingga mereka senantiasa mengingatkan untuk saling taat kepada Allah SWT.

Ketiga: Peran negara dalam menjaga masyarakatnya. Yakni menjadikan syariat Islam sebagai sandaran hukum bernegara seperti, mengatur media sesuai fungsinya, yakni menjadi alat informasi sekaligus edukasi bagi rakyatnya. Menerapkan pendidikan berbasis akidah sehingga anak menjadi cerdas dan berakhlak mulia. Tak kalah penting menjatuhkan hukum dengan tegas terhadap pelaku zina.

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah(cambuk) masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk melaksanakan agama(hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hendaklah pelaksanaan hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin.”(QS An-Nur 24:2). Hakuman tersebut berlaku bagi yang belum pernah menikah, bahkan bagi pelaku zina yang sudah menikah hukumannya lebih keras lagi, yakni dirajam hingga mati, nauzubillah mindzalik. Wallahu alam bishshawwab.

Rikhi Ferdian Herisetiana

LAINNYA