Risiko Bencana di Tanah Jawara

Redaksi
8 Okt 2019 15:34
9 menit membaca

Kondisi Desa Sumber Jaya Kecamatan Sumur Pandeglang Banten pascatsunami. (Muhammad Ali/Jawa Pos)

Catatan Atma Drackonia

 

Hayuk, Pak! Hayuk, kita ngungsi! Ada sunami!” seru Ayu (7,5 tahun) sambil menarik-narik lengan bapaknya. Itu terjadi setiap kali dia mendengar suara dentuman keras (misalnya, suara petasan besar) atau derum mobil alat berat penggali tambak yang bergemuruh.

Begitu kisah Aja (40), Ketua Pemuda Kampung Tegal Lame, Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten (Minggu, 6/10/19), tentang anaknya yang baru kelas 2 SD itu.

 

Pemulihan Wilayah Terdampak Bencana

Kecamatan Sumur merupakan salah satu wilayah terdampak parah saat terjadi Tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018. Tsunami yang dipicu letusan Gunung Anak Krakatau dan longsornya sebagian tubuh Anak Krakatau itu berdampak pada empat wilayah di Provinsi Banten dan Lampung: Kabupaten Pandeglang, Serang, Lampung Selatan, dan Pesawaran.

Dari empat wilayah terdampak itu, Kabupaten Pandeglang adalah wilayah terdampak paling parah. Data infografis Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) per 14 Januari 2019 menyebutkan, dari total korban 437 orang, 296 korban meninggal berada di Kabupaten Pandeglang, Selain itu, infografis BNPB juga mencatat 16.712 orang luka-luka, 3 orang hilang, dan 7.972 orang mengungsi di Kabupaten Pandeglang.

Infografis Korban Tsunami Selat Sunda dari BNPB, 14 januari 2019 (bnpb.go.id)

Setelah hampir setahun, sarana dan prasarana di Kecamatan Sumur secara berangsur sudah mengalami perbaikan. Namun, berbagai masalah masih belum terselesaikan, terutama perihal masih banyaknya korban yang terpaksa tinggal di hunian sementara. Hingga Oktober 2019, penyediaan hunian tetap bagi warga korban tsunami di beberapa tempat baru sampai tahap pengukuran tanah, sebagaimana disampaikan Sardan, Kepala Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur (Minggu, 6/10).

Sementara itu, para relawan menemukan bahwa banyak warga yang enggan tinggal di hunian sementara (huntara) yang dibangun pemerintah. Mereka memilih tinggal di hunian sementara yang mereka bangun bersama relawan di atas reruntuhan rumah mereka sendiri.

“Kalau huntara kan bangunannya berjejer begitu, seperi barak. Mungkin mereka tidak biasa. Mereka inginnya mendirikan rumah yang tipenya tidak begitu,” kata Suparlan, Project Manager Disaster Mananagement Indonesia (DMI) dari Yayasan Sheep Indonesia (YSI), pada Workshop Pengurangan Risiko Bencana (PRB) untuk Jurnalis di Villa Prima Group, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten, 5-6 Oktober 2019.

Namun, lebih daripada masalah pemulihan fisik, pemulihan psikologis berupa penyembuhan trauma akibat bencana justru cenderung lebih sulit dan bertahan lama.

 

Trauma dan Keberlangsungan Hidup Pascabencana

Ketika suatu bencana terjadi, secara spontan masyarakat di sekitar bencana pasti akan turun tangan membantu, tanpa perlu diorganisasi. Begitu juga dengan berbagai lembaga kemanusiaan dan lembaga pemerintah dengan sigap akan melakukan aksi tanggap darurat (emergency response). Namun, bagaimana dengan kondisi kehidupan korban, baik fisis maupun psikis, setelah impak bencana mereda?

Apa yang terjadi pada Ayu dan warga terdampak bencana tsunami lainnya, baik anak-anak maupun orang tua, adalah salah satu masalah pascabencana yang sering luput dari perhatian pemerintah dan masyarakat luas.

Sebagaimana diakui Aja, meskipun secara umum masyarakat sudah melakukan kegiatan sehari-hari sebagaimana sebelum bencana, pada dasarnya, sampai sekarang mereka tetap merasa waswas akan kemungkinan bencana tsunami terjadi lagi. Bukan hanya anak-anak, para orang tua pun merasa waswas setiap kali mendengar dentuman keras atau gemuruh buldozer.

Sarana bermain anak-anak. Latar belakang adalah saung pertemuan warga yang dibangun bersama relawan YSI.

Masalah pemulihan (recovery) fisik dan mental pascabencana inilah salah satu hal yang mendorong berbagai organisasi kemanusiaan terus memantau dan mendampingi para korban. Di antaranya, Yayasan Society for Health, Education, Environment, and Peace (Sheep) Indonesia yang selama 10 bulan bertahan di Kecamatan Sumur untuk mengawal proses pemulihan tersebut.

“Kita sudah 10 bulan mendirikan posko dan membangun beberapa bangunan di beberapa lokasi,” kata Suparlan dari YSI  pada Workshop PRB, Minggu (6/10). YSI adalah anggota Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta dan, pada workshop itu, didampingi Walhi Jakarta.

Dari pantauan di lokasi, sarana dan prasarana yang telah dibangun warga bersama relawan YSI termasuk hunian sementara (huntara), toilet warga, penyediaan air bersih, saung pertemuan warga, dan arena bermain anak-anak. Selain itu, para relawan juga melaksanakan upaya penyembuhan trauma (trauma healing) dan pendidikan sadar bencana (disaster awareness).

 

Ancaman Bencana di Banten Bukan Cuma Tsunami

Kekhawatiran warga terdampak bencana akan kemungkinan terjadi lagi tsunami adalah hal yang sangat beralasan. Sebagaimana dinyatakan Kepala Pusat Gempa dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono, gempa megathrust adalah ancaman riil yang patut diwaspadai seluruh pihak. Rahmat menambahkan, salah satu segmen megathrust ini berada di Selat Sunda (CNN, 03/08/2019).

Megathrust adalah zona tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang lokasinya memanjang dari sebelah barat ujung Sumatera menuju selatan Jawa, Bali,dan Nusa Tenggara. Wilayah ini terbagi ke dalam beberapa segmen. Salah satunya, segmen di Selat Sunda. Karena itu, masyarakat di sepanjang jalur pertemuan lempeng tektonik itu harus selalu siaga.

“Ada perdebatan di antara para ahli perihal perlu tidaknya ancaman megathrust ini diumumkan kepada publik. Sebagian ahli memandang perlu agar masyarakat waspada. Sebaliknya, sebagian lainnya memandang tidak perlu karena dikhawatirkan justru akan menimbulkan kepanikan,” tutur fasilitator Workshop PRB, Mukri Friatna dari Sarekat Hijau Indonesia (SHI).

Terlepas dari perdebatan tersebut, lanjut Mukri, ancaman bencana yang harus diwaspadai masyarakat Banten bukan hanya tsunami, baik yang tektonik maupun karena longsor di bawah laut sebagaimana Tsunami Selat Sunda 2018. Ancaman bencana ekologis, seperti banjir dan longsor, justru lebih banyak.

Hal ini disebabkan banyaknya sistem pengelolaan ekologi yang salah (seperti penambangan batubara, emas, dan pasir) dan pengalokasian lahan yang salah (seperti pemberian izin penggunaan hutan untuk pertambangan atau perkebunan). Sistem pengelolaan ekologi dan pengalokasian lahan yang salah itu dilakukan baik oleh pemerintah bersama korporasi maupun oleh masyarakat.

Di Gunung Kencana, misalnya, masyarakat menambang emas di halaman rumahnya sendiri sehingga banyak bagian tanah rumah warga yang berongga, seperti lubang tikus, ujar Mukri. Kondisi ini jelas mengandung ancaman bencana longsor.

Pabrik Semen Merah Putih di tepi pantai Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak (semenmerahputih.com)

Di wilayah Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, PT Cemindo Gemilang (produsen Semen Merah Putih, perusahaan patungan Gama Group dan perusahaan Singapura WH Investment) ditemukan menimbulkan kerusakan lingkungan, seperti kerusakan sumber mata air, polusi udara karena debu, guyuran lumpur (aman.or.id), bahkan pencemaran sungai Cibayawak dengan limbah cair (dpr.go.id).

Sementara itu, Bantenhits.com menyebut ada enam desa kawasan mangrove yang telah dialihfungsikan menjadi tambak udang, perumahan, dan perhotelan, yaitu Labuan-Tarogong (Kecamatan Labuan), Cibungur (Kecamatan Sukaresmi), Panimbang-Mekarjaya (Kecamatan Panimbang), dan Tamanjaya (Kecamatan Sumur). Bisa dilihat, wilayah pesisir sepanjang Taman Jaya hingga Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, yang sudah rusak dan tak memiliki hutan bakau itu kini “disulap” menjadi deretan tambak udang.

Dalam workshop PRB tersebut, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi menyatakan, lebih dari 50 persen wilayah Banten rawan bencana. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan Pemerintah Provinsi yang belum melakukan Analisis Risiko Bencana (ANR) secara serius dalam rencana pembangunannya.

Bahkan, berbagai proyek pembangunan di Banten jelas kurang mempertimbangkan risiko bencana, seperti menjadikan daerah rawan bencana sebagai wilayah pertambangan. Hal ini membuat risiko bencana semakin meningkat  di wilayah Banten, khususnya di daerah-daerah rawan bencana, tegas Tubagus.

 

Pendekatan Kultural

Dari sekian banyak info penting yang disampaikan dalam Workshop PRB di atas, salah satu hal yang menarik adalah tidak adanya kesinergian antara pemerintah cum pengusaha dan pegiat lingkungan. Para pegiat lingkungan (dan isu-isu lingkungan yang mereka perjuangkan) masih diperlakukan sebagai underdog oleh pemerintah—setidaknya, di wilayah Banten.

Saya membayangkannya begini: pemerintah dan korporasi itu seperti sepasang kekasih yang berjalan mesra bergandengan tangan sambil mencabuti tanaman sepanjang jalan. Namun, melihat ulah mereka, para pegiat lingkungan dan kemanusiaan hanya bisa menyeru, tidak bisa mencegah. Tetapi, mereka tidak digubris. Kalaupun sesekali pemerintah dan korporasi menoleh, keduanya hanya tersenyum sebentar lalu melanjutkan keasyikannya mencabuti tanaman sepanjang jalan yang mereka lewati.

Dalam obrolan dengan Bang Mukri (SHI) mengenai hal ini, terungkap bahwa mengupayakan agar gerakan lingkungan hidup memiliki daya tawar yang lebih kuat bukanlah perkara mudah. Tanpa menyebut upaya gerakan lingkungan hidup membentuk sebuah organisasi politik (seperti Partai Hijau Indonesia yang didaftarkan pada 1998 dan 2012 untuk ikut Pemilu), dia melihat bahwa hal terdekat yang bisa dilakukan adalah memperkuat masyarakat sipil dan jurnalis untuk bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Sayangnya, memperkuat masyarakat sipil Banten untuk mengusung gerakan lingkungan hidup yang bisa mempengaruhi pemerintah juga bukan perkara mudah. Contohnya yang paling dekat adalah, sampai 2019 ini, belum ada Walhi Eksekutif Daerah Banten, padahal Walhi sudah 39 tahun berdiri (1980).

Demikian juga upaya untuk mengandalkan jurnalis, khususnya jurnalis lokal atau regional. Pasalnya, banyak (atau semuanya?) media lokal sangat bergantung kepada APBD dalam mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Bisa dilihat, iklan-iklan yang menjadi oksigen bagi kehidupan media lokal hampir seluruhnya berasal dari lembaga-lembaga pemerintah daerah. Karena itu, mengkritik kebijakan pemerintah daerah itu seperti makan buah simalakama yang banyak dihindari media lokal.

Alternatif lain yang kemudian bisa dilakukan untuk mendesakkan pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup ke dalam kebijakan pemerintah daerah adalah melakukan pendekatan kultural.

Sependek pengetahuan saya, di Negeri Tasbih dan Golok ini ada dua “kekuasaan” yang dipatuhi masyarakat: pemerintah dan ulama. Dalam konteks pendesakan pertimbangan lingkungan hidup, mendekati pemerintah jelas bukan merupakan opsi yang tepat, mengingat selama ini pemerintah justru menjadi agen yang kurang mempertimbangkan pelestarian lingkungan hidup dalam menelurkan kebijakan-kebijakannya.

Ketika berhubungan dengan pemerintah (yang bergandeng tangan dengan korporasi), masyarakat Banten yang terkenal sakti dengan berbagai ilmu kedigjayaan itu justru keok. Mereka dikenal kebal golok dan peluru, bahkan bisa terbang, tetapi ketika tanah mereka dirampas pemerintah atau korporasi mereka pasrah saja, tidak sanggup mempertahankannya. Seperti hilang segala kesaktian mereka, tutur Bang Mukri.

Abuya Munfasir, Padarincang, Serang (santrionline.net)

Karena itu, satu-satunya “kekuasaan” yang dipatuhi masyarakat Banten dan dapat didekati untuk mendukung gerakan lingkungan hidup adalah para kiai. Tentu saja, ini pun hanya para kiai yang belum terkooptasi pemerintah. Dengan kriteria ini, tentunya tidak terlalu banyak kiai yang berkemungkinan mendukung gerakan masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Namun, beberapa kiai terkenal bisa coba didekati, semisal Abuya Muhtadi (Cidahu, Pandeglang), Abuya Munfasir (Padarincang, Serang), Abuya Sar’i (Ciomas, Serang), dan Abuya Uci (Cilongok, Tangerang).

Permasalahannya tinggal bagaimana aktivis gerakan lingkungan hidup mengatur dan melaksanakan pendekatan kepada para ulama pengampu “kekuasaan” itu ketika, pada saat yang sama, para pejabat juga terlihat sangat aktif mendekati mereka.

Jelas, para pejabat mendekati mereka untuk mendapatkan dukungan bagi kebijakan-kebijakan mereka, meskipun hanya dukungan simbolik. Karena sudah sowan ke ulama tertentu, maka terkesan mereka telah mendapat restu ulama tersebut. Dengan dukungan simbolik itu, mereka bisa terus memainkan peraturan dan menerbitkan perizinan yang mengancamkan bencana kepada masyarakat.

Sepertinya, bagi para pejabat pemerintah daerah yang bermain mata dengan korporasi, bencana yang menimpa masyarakat dianggap sebagai hal yang biasa. Hari ketika sebuah bencana terjadi adalah a business day as usual—satu hari transaksi bisnis sebagaimana biasanya. Tidak ada sense of crisis yang mendorong mereka untuk lebih bijak dalam mengelola lingkungan hidup dan meminimalkan risiko bencana di Tanah Jawara. (Red)

 


Disklaimer: Setiap artikel yang dimuat dalam kategori Opini di Suarabantennews.com mencerminkan pendapat dan menjadi tanggung jawab penulisnya. Suarabantennews.com tidak menjamin validitas dan akurasi informasi yang disampaikan penulisnya.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan