2 Pemerkosa Gadis Berketerbelakangan Mental di Serang Dibebaskan

Joe
18 Jan 2022 17:49
2 menit membaca

SERANG (SBN) — Dua tersangka pemerkosa tehadap gadis berketerbelakangan mental di Kota Serang dibebaskan setelah Satreskrim Polres Serang Kota menerima pencabutan laporan tersebut oleh pelapor.

Diketahui Kedua tersangka ini, yakni EJ (39) adalah paman korban dan SM (46) adalah tetangga korban. Kasus ini terungkap oleh Satreskrim Polres Serang Kota pada tanggal 25 November 2021 lalu.

Dikutip dari Bantenhits, Kasatreskrim Polres Serang Kota AKP David Adhi Kusuma membenarkan kedua tersangka tersebut sudah bebas. Hal itu karena kasus pemerkosaan yang menimpa Y sudah dicabut oleh sang korban.

“Benar, sudah ada permintaan pelapor untuk mencabut LP,” kata Kasatreskrim David.

Menanggapi hal tersebut, Pemerhati Hukum Pidana, Uday Suhada mengatakan, tindak pidana pemerkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), merupakan delik biasa dan bukan delik aduan. Artinya, proses hukum dapat berjalan meskipun tanpa laporan.

“Mengingat bunyi Pasal 285 KUHP sudah jelas menyebutkan ‘barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun’,” ujar Uday, Selasa (18/1/2022).

Oleh karena itu, sambung Uday, pihak kepolisian dalam hal ini penyidik, tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara perkosaan tersebut tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban.

“Pencabutan laporan yang dilakukan oleh pelapor tidak dapat menghentikan proses penegakan hukum terhadap tersangka pelaku tindak pidana perkosaan,” katanya.

Ia meniai, pembebasan pelaku sebagai tindakan pembiaran dan impunitas terhadap kasus pemerkosaan. Sebab membuka peluang pelaku mengulangi kekerasan seksual yang sama pada korban atau orang lain.

“Apalagi, jika korbannya adalah masyarakat difabel. Hal itu akan mencederai pelaksaan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,” katanya.

“Kerentanan kondisi korban dan keluarganya seharusnya menjadi pertimbangan untuk menyelesaiakan proses hukum kasus tersebut,” ungkapnya.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan