SuaraBantenNews.Com – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Tangerang meminta Ombudsman RI menyelidiki secara menyeluruh terkait polemik keberadaan pagar laut yang membentang sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang,
Hal ini diungkapkan Ketua DPC GMNI Kabupaten Tangerang Endang Kurnia usai melaporkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat ke Ombudsman RI, Kamis (16/1/2025).
Aduan ini dilayangkan para aktivis mahasiswa buntut dari ketidakpuasan sejumlah elemen masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah maupun pusat dalam polemik pagar laut tersebut.
“Kami melihat bahwa pemerintah daerah maupun pusat tidak segera mengambil sikap tegas dalam persoalan pagar laut ini. Pagar itu seharusnya dibongkar, demi Undang-Undang yang bahkan terkandung unsur pidana di dalamnya,” kata Endang, Jumat (17/1/2025).
Menurut Endang, apabila alasannya pagar itu didirikan untuk menahan abrasi, maka sudah sepatutnya pemerintah bertanggungjawab untuk menentukan efisiensi kebijakan. Selain itu, anggaran yang dihabiskan untuk pemagaran tersebut juga terbilang fantastis sehingga sulit dipercaya apabila dikatakan sumbernya berasal dari swadaya masyarkat.
Endang mengungkapkan, berdasarkan analisa dan data yang mereka himpun, diduga pagar laut tersebut bukan pagar yang dibangun dengan swadaya masyarakat, melainkan pagat tersebut merupakan sebuah Peta Reklamasi. Selain itu, GMNI juga menduga adanya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak milik (HM) beserta NIB nya dibawah pagar laut misterius yang diperkuat dengan data yang ada di ATR/BPN/Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Tangerang 2011-2031 dan Dokumen 3 Perencanaan Proyek Strategis Nasional Pesisir Pantai Tangerang Utara Tropical Coastland yang dikeluarkan oleh PT. Mutiara Intan Permai yang merupakan anak perusahaan dari Agung Sedayu Group.
“Kalau sampai dugaan kami benar adanya, jelas ini menyalahi Aturan. Jika dalih mereka itu dulunya adalah daratan maka status hak atas tanah yang terkena abrasi adalah hapus, baik dalam ketentuan UUPA maupun PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah karena tidak sesuai lagi dengan data fisik maupun data yuridis sebagai alat bukti yang kuat. Tolak Reklamasi, karena akan merusak ekosistem laut dan memberikan dampak Negatif yang signifikan terhadap pendapatan ikan Nelayan disana,” paparnya.
Lanjut Endang, dalam intisari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hanya sertifikat Hak Pakai yang dapat diberikan di atas tanah yang ada airnya untuk digunakan tambak/perikanan. Sedangkan Hak atas Tanah selain untuk tambak, semua sertifikat hak atas tanah (HPL, HGB, HP, HGU) harus berupa dan berwujud tanah darat, tidak boleh diberikan diatas laut.
“Sementara dugaan penerbitan alas hak di Laut Jawa (Pesisir Pantai Utara Kabupaten Tangerang) tersebut masih berupa laut, sehingga melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tandasnya.
Sekretaris DPC GMNI Kabupaten Tangerang Teguh Maulana menambahkan, salah satu alasan pihaknya mendatangi kantor Ombudsman RI adalah adanya dugaan penerbitan alas hak dengan bidang yang berada di laut yang masuk ke dalam peta pembangunan PIK 2.
“Berdasarkan data yang kami peroleh dari berbagai sumber, terdapat hal kontras antara peta Satelit Google Earth 2024 dengan peta ATR/BPN dan Rencana Pengembangan PIK 2 yang masuk ke dalam RTRW Kabupaten Tangerang 2011-2013. Area perairan (laut) di pantai utara Kabupaten Tangerang sudah berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (HM) beserta NIB-nya,”terangnya.
Menurut Teguh, memang terdapat beberapa pandangan mengenai alas hak yang berada di laut, namun pada klausul Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penataan Pertanahan Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah pada pantai hanya dapat diberikan untuk bangunan yang harus ada di wilayah pesisir pantai, yakni: 1) Bangunan untuk pertahanan dan keamanan; 2) Pelabuhan atau dermaga; 3) Tower penjaga keselamatan pengunjung pantai; 4) Tempat tinggal masyarakat hukum adat atau anggota masyarakat yg secara turun temurun sudah bertempat tinggal ditempat tersebut dan/atau 5) Pembangkit tenaga listrik.
“Berdasarkan klausul tersebut, dugaan penerbitan alas hak dimaksud yang bidangnya berada pada perairan laut utara Kab. Tangerang merupakan perbuatan melawan hukum,” imbuhnya.
Lanjut Teguh, hal ini tentunya harus diusut tuntas. Maka dari itu, salah satu point dalam aduan tersebut, GMNI meminta Ombudsman RI untuk menjawab penyertaan surat yang telah dilayangkan dalam bentuk Legal Opinion.
“Dalam waktu dekat kami juga akan mendatangi DPR RI dan Kementerian ATR/BPN. Ketidakadilan harus dilawan, equum et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum),” pungkasnya.