10 Bulan Pasca Tsunami, Warga Ujung Jaya Butuh Air Bersih dan Hunian Tetap

Ramzy
7 Okt 2019 10:22
3 menit membaca

PANDEGLANG (SBN) – Tsunami Selat Sunda yang terjadi pada 22 Desember 2018 silam, menyisihkan dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan psikis masyarakat.

Kondisi terkini, berdasarkan penelusuran Suarabantennews di Kampung Tanjung Lame, Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandegalang. Mereka sudah nampak baik dan berkaktivitas sebagaimana mestinya.

Hanya saja mereka terkendala air bersih dan Huntap (hunian tetap) bantuan dari pemerintah belum dapat mereka nikmati. Kini, sebagian warga masih memanfaatkan di Huntara (hunian sementara) sebagai tempat tinggalnya.

Kepala Desa Ujung Jaya, Sardan mengatakan, tahap pembagunan Hunian Tetap (Huntap) yang diperuntukan bagi warga yang terdampak tsunami kini masih dalam pengukuran tanah.
Pasalnya tanah yang dibutuhkan sebanyak 4.000 meter itu baru selesai dalam urusan harga per-meternya.

“Kini baru tahap pengukuran tanah, karena baru damai dalam urusan harga,” kata Sardan, Minggu (6/10/2019).

Ia menambahkan, setelah pengukuran tinggal proses pembayaran dan selanjutnya masuk ke tahap perbaikan. Kedati demikian, pihaknya belum dapat memastikan kapan hunian tetap tersebut dapat dimanfaatkan oleh warga.

Dalam menunggu pembangunan Huntap, lanjut dia, kini masyarakat tinggal di huntara (hunian sementara) yang berasal dari relawan bukan dari pemerintah yakni sebanyak 13 unit dengan kebutuhan logistik seadanya.

“Untuk logistik dulu ada bantuan dari pemerintah, tapi sekarang mereka mandiri,” ujarnya.

Ia menjelaskan, walaupun terdapat keterlambatan itu bukan karena pihaknya lalai, tetapi dalam pengusulan Huntap ini banyak tahapan yang harus pihaknya dilalui.

Salah seorang warga Kampung Tanjung Lame Minah mengakui bahwa pembangunan pasca tsunami masih kurang. Dirinya mengaku, pasca bencana tsunami yang lebih intens menyoroti kondisi warga adalah banyak dari unsur relawan bukan dari pemerintah.

“Banyak dari relawan yang membantu, kalau pemerintah datangnya belakangan,” tuturnya.

Ia menjelaskan, sebagian besar warga yang tinggal di sekitar pesisir pantai masih trauma jika mendengar sesuatu seperti suara air dan ombak pantai. Bahkan jika air surut dan mati lampu pun mereka sering merasa ketakutan dan nelayan pun sering takut jika hendak pergi berlayar.

“Sebagian dari kami masih trauma dengan suara air ombak besar. Perasaan kami juga was-was saat mati lampu dan air pantai mengering. Tetapi setelah relawan masuk sedikit-sedikit kita bisa tenang,” tandasnya.

Tambah Minah, kini yang diperlukan oleh warga yakni hunian tetap dan kebutuhan air bersih, adapun instalasi air bersih yang sudah dibangun dianggap masih kurang, karena masih sering berebut dan bahkan ada yang tidak kebagian.

Sementara itu, Manajer Proyek Yayasan Sheep Indonesia, Suparlan mengatakan, pihaknya sudah melakukan edukasi pasca tsunami dan juga sudah memberikan beragam fasilitas yang dibutuhkan masyarakat.

“Melalui program emergency respon yang digagas oleh Sheep, kami sudah 10 bulan membersami warga disini,” ujarnya.

Selain itu, pihaknya sudah membangun fasilitas umum seperti instalasi air bersih, MCK, Gedung Aula (Pertemuan) dan wahana permainan anak. Ia berharap semoga dengan dibangunnya fasilitas umum ini, masyarakat bisa merawat semuanya.(Restu/Zie)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan