HUT Banten ke 18, Ekonomi dan Korupsi Masih Jadi PR

Redaksi
4 Okt 2018 15:12
3 menit membaca

TANGERANG – Hari ini genap Banten berusia 18 tahun sejak memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat, 4 Oktober 2000 silam, banyak harapan ketika Banten menjadi provinsi baru. Bebas dari kemelaratan akibat kesenjangan sosial, ekonomi terutama di daerah Lebak dan Pandeglang yang sebagian besar penduduknya masih berada dalam garis kemiskinan yang hidupnya hanya mengandalkan dari bercocok tanam dan kerja serabutan. Hal tersebut diungkapkan oleh Koordinator Banten Bersih, Gufroni.

Menurutnya, bahwa sebagaimana yang pernah di tulis Max Havelaar dalam novelnya Multatuli bahwa Banten sangat sarat dengan feodalisme yang kuat mengakar, dimana pejabatnya bak raja yang harus dilayani rakyatnya maka tak mudah mewujudkan cita-cita dan harapan Banten bisa disejajarkan dengan provinsi lain hingga hari ini.

“Meski jaraknya hanya “selemparan batu” dari pusat ibu kota negara, provinsi ini masih juga berkutat pada persoalan yang sama yaitu, kemiskinan, buruknya kesehatan, pendidikan yang rendah, feodalisme para pejabatnya hingga makin menguatnya dinasti di Banten,” ungkap Gufroni saat ditemui di kantornya, Kamis, (4/10/2018).

Menurutnya, meski KPK sudah membongkar praktik korupsi yang masif ketika dinasti Hasan Sochib berkuasa, bahkan anaknya Ratu Atut Choisiah yang merupakan mantan Gubernur Banten dan Tubagus Chaeri Wardana (adik Atut) sudah menjadi narapidana kasus korupsi ternyata, dinasti yang sudah dibangun sejak lama tidak mudah untuk diluluhlantakan.

“Bahkan makin menggurita dan menguasai berbagai posisi penting baik di tingkat pemerintahan provinsi, kab/kota sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, juga sebagai anggota parlemen baik di pusat maupun daerah. Bahkan untuk Pemilu Legislatif pada tahun 2019 nanti mereka sudah menempatkan orang-orangnya untuk bisa merebut kursi-kursi sebagai anggota dewan dan DPD,” jelasnya.

Hingga hari ini, dituturkannya persoalan korupsi menjadi perhatian serius utamanya KPK yang masih menempatkan orang-orangnya untuk mengawasi kinerja para pejabat baik dalam rangka pencegahan maupun penindakan.

“Pandeglang, Lebak dan Cilegon menjadi perhatian utama komisi anti rasuah ini, termasuk juga di Pemprov Banten itu sendiri. Data menunjukkan korupsi di Banten masih tetap marak terjadi dan pelakunya bukan hanya pejabat tapi juga sampai melibatkan kepala desa karena tersangkut korupsi dana desa. Tentu ini pekerjaan rumah bagi Aparat Penegak Hukum (APH) baik kejaksaan, kepolisian dan KPK untuk menuntaskan berbagai kasus korupsi yang massif ini,” paparnya.

Maka saatnya kelas menengah untuk merapatkan barisan untuk mendobrak kebekuan dan kebuntuan. Dirinya juga tidak bisa berharap kepada pejabat di Banten untuk mengubah kondisi dari gelap gulita menuju abad pencerahan Banten.

“Pertanyaan besar saat ini, ketika Atut mantan gubernur yang kini masih mendekam di penjara apakah Banten akan bangkit? Seperti dalam bukunya Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang. Maka Banten, lebih tepatnya Habis Gelap Terbitkah Terang? Atau Habis Gelap Makin Gelap Gulita, hanya waktulah yang menjawabnya,” tutup Gufron.(gus/zie)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan