Jalani Ritual Tahunan Kawalu, Masyarakat Baduy Me-lockdown Wilayahnya

Joe
24 Mar 2020 15:05
3 menit membaca

LEBAK (SBN) — Masyarakat Baduy Dalam saat ini tengah melaksanakan ritual Kawalu yang tertutup dari orang luar (wisatawan/pendatang). Ritual ini merupakan agenda rutin tahunan sebagai aktualisasi menjaga nilai-nilai luhur Masyarakat Adat Baduy.

Penetapan waktu pelaksanaan ritual Kawalu tahun ini berdasarkan kesepakatan Tangtu Tilu dengan Kepala Desa Kanekes, yaitu mulai 25 Februari hingga 30 Mei 2020 mendatang. Kawalu ini disebut Kawalu Tembey (mulai 1 Safar menurut Kalender Baduy).

Dalam ritual Kawalu ini masyarakat Baduy Dalam menutup diri dari orang luar selama tiga bulan ke depan dan berlangsung dalam tiga tahap, yakni Kawalu Tembey (awal), Kawalu Tengah, dan Kawalu Tutug (akhir).

Menurut Pendamping Masyarakat Adat Baduy Uday Suhada, momentum Kawalu ini dapat diartikan sebagai penutupan wilayah (lockdown) dalam kacamata dunia modern untuk menghindari segala macam penyakit, baik fisik maupun nonfisik, yang dibawa para pendatang.

“Kita bisa ambil teladan dari kearifan lokal Baduy mengenai proteksi komunitas terhadap penyebaran penyakit saat ini,” kata Uday, sebagaimana dilansir BantenNews.co.id, Senin (23 Maret 2020).

Ibarat lalu lintas internasional, kata Uday, masyarakat Baduy menutup semua akses masyarakat luar yang akan masuk ke Baduy Dalam.

“Istilahnya, Baduy di-lockdown dari tamu. Ibarat bandara, itu ditutup mulai dari Ciboleger, Cisimeut, Cibeo,” kata Uday.

Salah satu ritual masyarakat Baduy untuk memproteksi komunitas yang belum banyak diketahui publik ialah tradisi Nyapuan. Tradisi ini dilakukan secara berkala untuk membersihkan masyarakat Baduy dari sampah dan penyakit, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.

“Upacara itu mereka lakukan secara berkala tiap bulan, setidaknya tiga bulan sekali,” katanya.

Barang-barang yang mengandung penyakit dan wabah, seperti wabah yang kini merebak di masyarakat Banten, semuanya disingkirkan. Demikian juga penyakit nonfisik, seperti pola hidup yang merusak sendi-sendi tradisi hidup berdampingan dengan alam.

“Mereka menerapkan berbagai kebijakan dengan keteladanan dengan aksi nyata. Ada 1.001 tabu tidak tertulis di Baduy, tapi dipatuhi dengan tertib. Berbeda dengan masyarakat luar seperti kita, aturan seabrek tumpang tindih tapi hidup tidak beraturan dan sulit mencari teladan. Buat aturan tidak boleh keluyuran, malah keluyuran,” tuturnya.

Arif Senjaya, pemerhati budaya dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa menambahkan, negara bisa mengadopsi tradisi masyarakat Baduy dalam menerapkan ritme kehidupan untuk menanggulangi penyakit.

“Secara teori, virus itu ada siklusnya, seperti di Eropa pernah terjadi berbagai wabah pada beberapa abad lalu, kemudian muncul lagi pada abad berikutnya. Ada siklus. Rupanya kearifan lokal sudah mencatat itu,” kata pengajar filsafat tersebut.

“Kearifan lokal itu, sejauh ini masih seksi hanya di ranah akademik, belum menjadi isu politik negara. Kepentingan negara [terhadap Baduy] sejauh ini hanya sebatas pada soal pariwisata,” ujar Arif.

Merlihat kondisi saat ini, Arif menyebut negara telah kehilangan ritme penanggulangan bencana sehingga gagap dalam menangani penyebaran virus korona. Negara juga kehilangan ritme dalam menghadapi bencana alam rutin, seperti persoalan banjir yang tidak kunjung selesai menghantui Ibu Kota.

Masyarakat Baduy, hemat Arif, memiliki ritme hidupnya sendiri yang tetap dipertahankan sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka bahkan memiliki siklus dan ritme dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

“Mestinya negara mengadopsi kearifan lokal masyarakat adat semacam Baduy.” tutup Arif. (Wawan/Atm)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan