TANGERANG – Program Keluarga Berencana (KB) salah satu tujuannya adalah meningkatkan ketahanan keluarga dari berbagai gangguan yang dapat merapuhkan dan merapuhkan keutuhan keluarga. Namun, selain faktor ekonomi, kekerasan fisik, kehadiran orang ketiga kerap membuat sebuah rumah tangga berantakan.
Kemudahan saling berinterksi di abad digital ini, menjadi salah satu pemicu meningkatnya kasus perceraian. Media sosial (medsos) yang saat ini menjadi semacam gaya hidup, dituding menjadi salah satu pemicu runtuhnya banguanan sebuah keluarga.
“Medsos memudahkan orang saling berinteraksi, namun tak sedikit kasus perceraian terjadi karena perselingkuhan itu berawal dari interaksi di medsos,” ungkap Anggota Komisi IX DPR RI Siti Masrifah, Selasa (20/11/2018).
Masrifah menyebut, angka perkara perceraian di Pengadilan Agama terus meningkat. Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Kabupaten Tangerang. Dalam periode periode Januari hingg November 2018, tercatat 6.693 perkara perceraian di Kabupaten Tangerang. Angka tersebut telah melampaui jumlah kasus serupa pada tahun 2017 sebanyak 6.225 perkara.
“Jika ditelisik, pemicu perceraian itu sekian persen karena kehadiran orang ketiga, atau perselingkuhan. Mengapa angka perceraian meningkat? Hal ini menarik untuk dikaji,” bebernya.
Bukan hanya pada persoalan perselingkuhan, Masrifah membeberkan medsos maupun aplikasi untuk komunikasi di ponsel pintar, telah merubah pola komunikasi dalam keluarga. Bahkan, karena ponsel, meski fisik setiap anggota keluarga bertemu setiap hari, namun bisa dipastikan mereka sibuk dengan dunianya masing-masing.
“Bayangkan, misalnya saat bertemu di rumah, meski fisiknya tengah bersama, tapi masing-masing sibuk mengobrol dengan orang lain. Nah, kehangatan komunikasi dalam keluarga pun tergerus,” tegasnya.
Ia mengakui, perubahan demikian tidak dapat dibendung, karena manusia sekarang dimanjakan oleh teknologi. Namun, ia menegaskan, jika tidak menyadari bahwa kebiasaan tersebut perlahan-lahan menggeser nilai-nilai dalam keluarga, maka yang terjadi adalah goyahnya ketahanan keluarga.
“Kita tidak bisa membayangkan, jika komunikasi dalam keluarga berubah drastis seperti itu, maka yang terjadi adalah munculnya perilaku individualis. Sehingga kebersamaan dan kehangatan dalam keluarga tidak ada lagi,” terangnya.
Ia pun menyarankan, perlu ada literasi di dalam keluarga untuk menggunakan berbagai platform media sosial secara bijak, artinya tidak sebagian besar waktu anggota keluarga tersita untuk medsos.
“Orang tua harus memberikan teladan, salah satu fungsi keluarga adalah pendidikan. Saat ini yang menjadi tantangan kita adalah membentengi anggota keluarga kita menjadi korban medsos dan menyelamatkan keluarga kita dari ketergantungan pada medsos,” pungkasnya.
Ditambahkan Kepala Bidang Pendidikan dan Latihan (Diklat) Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Banten, Iswandi, pasangan suami istri bisa dengan mudah mendeteksi perilaku pasangannya jika terjadi perubahan perilaku.
Iswandi mencontohkan, keterbukaan pasangan suami istri sangat penting, namun sekarang terjadi fenomena seolah-olah ada ruang privasi yang tidak bisa diketahui oleh seorang suami atau istri, yaitu isi ponsel pintar.
“Kalau handphone sudah di password, kemudian pasangannya tidak boleh tahu, nah itu sudah patut dicurigai, ada apa-apanya,” ujarnya.
Bahkan ia menyebut, medsos menjadi salah satu pemicu tertinggi perceraian di Banten. “Banyak yang awalnya cuma iseng, namun akhirnya keterusan bahkan sampai terjadi perselingkuhan. Fenomena demikian harus diwaspadai, karena merapuhkan ketahanan keluarga,” ungkapnya.(zie)