GPH Djatikusumo, Anak Raja yang Menjadi Kasad Pertama di Indonesia

Ramzy
3 Jul 2019 17:21
3 menit membaca

Sampai dengan awal tahun 1948 belum dibentuk jabatan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat. Demikian dikutip dari Wikipedia. Jabatan Kasad—akronim Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (dulu KSAD)—baru ditetapkan pada tanggal 14 Mei 1948 melalui Penetapan Presiden Nomor 14 Tahun 1948.

Saat itu, Muhammad Hatta sebagai Perdana Menteri melanjutkan program Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa) TNI. Hatta yang juga menjabat Menteri Pertahanan menunjuk Djatikusumo sebagai Kasad. Maka, Djatikusumo pun kemudian dikenal sebagai orang yang pertama menduduki jabatan itu.

Nama lengkap Djatikusumo adalah Goesti Pangeran Harjo Djatikoesoemo. Pada nama Jenderal TNI ini tersemat Goesti Pangeran Harjo (GPH). Ya. Djatikusumo memang berdarah keraton. Ia merupakan putra ke-23 Susuhunan Pakubuwono X. Djatikusumo lahir di Surakarta pada tanggal 1 Juli 1917. Djatikusumo wafat pada usia 75 tahun pada tanggal 4 Juli 1992. Hari ini, tepat 27 tahun pria yang juga pernah menjadi Duta Besar RI untuk Singapura itu berpulang.

Perjalanan karier pria yang memiliki nama lahir Subandono itu terbilang sukses. Beberapa jabatan atau posisi penting ia isi. Memulai karier sebagai Prajurit dan pejuang dari Keraton Surakarta. Kemudian pada tahun 1941 menjadi Kopral Taruna Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO/Sekolah Perwira Cadangan). Pada tahun 1941 ini, Djatikusumo ikut bertempur melawan tentara Jepang di Ciater, Subang, Jawa Barat.

Kemudian pada tahun 1943, pada masa pendudukan Jepang, Djatikusumo mendaftarkan diri sebagai tentara PETA. Ia mengikuti pendidikan perwira di Bogor. Rampung mengikuti pendidikan, Djatikusumo diangkat sebagai Komandan Cudar I, Daida I Tentara PETA di Surakarta, Jawa Tengah. Ia juga pernah menduduki Komandan Batalyon BKR di Surakarta, Panglima Divisi IV di Salatiga, Panglima Divisi V Ronggolawe di Mantingan, Rembang.

Juga menjadi Direktur Akademi Militer di Yogyakarta (diangkat pada tahun 1948). Yang juga perlu dicatat adalah, Djatikusumo merupakan sosok yang memprakarsai pembangunan sekolah militer. Tahun 1946, Djatikusumo memprakarsai Sekolah Opsir cadangan di Salatiga yang merupakan perpaduan antara pendidikan perwira cadangan dengan pendidikan umum sekolah menengah pelayaran khusus militer.

Selain menduduki jabatan di dinas militer, Djatikusumo juga mengisi beberapa jabatan lain di luar militer. Di atas sudah disebutkan bahwa Djatikusumo pernah menjadi Duber RI untuk Singapura. Ia juga pernah menududuki pos Menteri Muda Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja I tahun 1959-1960. Pada Kabinet Kerja II tahun 1960-1962 dan Kabinet Kerja III tahun 1962-1963, Djatikusumo masih dipercaya mengisi jabatan menteri pada bidang itu.

Yang menarik dari sosok Djatikusumo adalah, meski ia anak seorang raja, namun ia tetap menyebut dirinya sebagai keturunan rakyat desa. Meski begitu, anak raja tetaplah anak raja. Djatikusumo tetap mendapat keistimewaan atau privilese hingga bisa bersekolah di ELS dan HBS. Dia juga mengenyam pendidikan di Institut Teknologi, Delf tahun 1936-1939. Tahun 1940, Djatikusumo balik ke Indonesia bersekolah di Technische Hoogeschool (sekarang ITB).

Majalah Tempo edisi 18 Juli 1992 seperti yang ditulis Tirtoid memuat memoar Djatikusumo berjudul “Prajurit dari Kraton”. Dalam memoar itu Djatikusumo mengatakan, masuknya ia ke dunia militer merupakan anjuran dari sang ayah.

“…Saya masuk milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung, tahun 1941-1942. Lembaga pendidikan militer bagi para milisi ini bertugas mencetak perwira cadangan untuk KNIL. Saya memperoleh pangkat kopral,” kata Djatikusumo.

Tentu seperti kebanyakan tentara lain, Djatikusumo juga berkali-kali terjun ke medan tempur. Bahkan, Djatikusumo juga yang bertanggung jawab atas keselamatan sekitar 150 calon perwira pengganti. Maka ia pun bersama prajurit lain turut bergerilya terutama saat Agresi Militer Belanda.

Atas segala jasanya, Jenderal TNI (Purn) Goesti Pangeran Harjo Djatikoesoemo dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional oleh presiden Megawati Soekarno Putri melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 073/TK/2002 tanggal 6 November 2002.

Satu pelajaran penting dari Djatikusumo, meski berdarah ningrat, ia tetap merasa bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan