Jurnalisme Profetik: Jurnalisme Penyampai Kebenaran Sebagai Solusi

Joe
26 Sep 2020 22:12
3 menit membaca

SERANG (SBN) — Diskusi dan Pelatihan Jurnalis Lingkungan Hidup dan Kebencanaan yang dihelat di Anyer, Banten (24–27 September 2020) mengangkat bencana tsunami Banten yang terjadi pada 2018 sebagai bahan refleksi wartawan dan pegiat lingkungan serta kebencanaan.

Selain itu, Dalam kegiatan yang diinisiasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Banten bekerjasama dengan Yayasan Sheep Indonesia itu disinggung juga berbagai potensi bencana lainnya, baik bencana alam maupun bencana nonalam yang mengepung wilayah Banten.

Pada kegiatan tersebut para peserta mendapatkan berbagai materi terkait isu ekologi dan kebencanaan dari berbagai narasumber berkompeten, termasuk perihal jurnalisme profetik.

Aat Surya Safaat, wartawan senior Kantor Berita Antara yang didaulat menjadi salah satu narasumber menekankan bahwa isu lingkungan hidup harus dikuasai para wartawan, mengingat bahwa isu tersebut termasuk tiga isu utama di dunia, selain isu demokrasi dan hak asasi manusia.

“Dunia internasional memberikan perhatian serius terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi yang terus mengalami degradasi kualitas. Saat ini dampaknya sangat terasa, seperti perubahan iklim yang memacu pemanasan global serta berbagai ancaman bencana di masa depan lainnya,” ungkapnya, Sabtu (25/9/2020).

Mantan Kabiro Kantor Berita Antara di New York tersebut menekankan peran strategis seorang wartawan yang disejajarkannya dengan penerus para nabi dan wali sebagai penyampai risalah kebenaran.

“Wartawan harus mampu menghasilkan karya jurnalistik yang mampu membangkitkan semangat dan harapan pembaca, merespon setiap persoalan dengan cara pandang yang jernih, serta mampu mendorong lahirnya solusi,” paparnya.

Peran wartawan yang demikian itu disebutnya jurnalisme profetik, yaitu jurnalisme yang dalam praktiknya meneladani perjuangan para nabi dan wali saat menyampaikan risalah kebenaran, tanpa menimbulkan kegaduhan, melainkan kesejukan bagi umat.

Terkait dengan isu lingkungan hidup, Aat juga mengharapkan peran wartawan agar mampu membangkitkan kesadaran pentingnya menjaga kelestarian dan keberlanjutan kehidupan di bumi. Wartawan juga harus mampu melahirkan cara pandang ekosentrisme, yaitu pandangan hidup yang menyelaraskan diri dengan alam semesta.

Pandangan hidup demikianlah yang telah diwariskan para leluhur di Nusantara, termasuk yang tercermin dalam adat istiadat orang Kanekes (Baduy) di Banten.

“Dengan pendekatan jurnalisme profetik, kita diingatkan kembali bahwa tugas jurnalis tidak sekedar melakukan tugas-tugas jurnalistik seperti yang dikenal saat ini, tapi jauh lebih dalam, yaitu menjaga dan merawat kehidupan agar tetap selaras dengan gerak alam semesta,” terangnya.

Senada dengan pernyataan Aat, Ketua Pelaksana Kegiatan Mohamad Romli juga menekankan bahwa tugas wartawan saat ini adalah melahirkan karya jurnalistik yang mampu menjawab persoalan, bukan hanya sekedar menjadi penyampai pesan,

“Jurnalis idealnya tidak hanya berkutat dengan teks, melainkan juga hadir di tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan hadirnya sosok-sosok yang dapat mendorong proses perubahan sosial ke arah yang lebih baik,” ungkapnya.

Karena itu, melalui pelatihan ini ia berharap, selain memperoleh pengetahuan, jurnalis dan aktivis serta kelompok masyarakat lainnya bisa bersinergi untuk melakukan aksi bersama demi mendorong proses perubahan sosial di Banten.

“Jika saat ini isu ekologi dan kebencanaan menjadi perhatian kita bersama, maka tak hanya sekedar terus berdiskusi, melainkan juga harus beranjak menuju level tindakan atau aksi bersama. Saya meyakini kolaborasi seperti ini akan lebih berdampak dan terlihat hasilnya daripada melakukan kerja-kerja advokasi secara sendiri-sendiri,” pungkasnya. (Ris/Drk)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan