Isu PKI: Ritual Tahunan yang Digulirkan di Tengah Pandemi

Joe
1 Okt 2020 10:38
2 menit membaca

BANTEN (SBN) — Kelompok kajian Lingkar Peradaban menggelar diskusi virtual pada Rabu (30 September 2020) malam dengan tajuk “Malam Panjang 30 September 1965”. Diskusi berlangsung pukul 20.00–23.00 WIB dengan pemandu Dede Kurniawan.

Diskusi virtual itu menghadirkan tiga narasumber: Jimmy Hajimi dari GMNI Banten; Khairul Umam, Inisiator Asosiasi Mahasiswa Cinangka (AMC); dan Juanda, jurnalis yang juga mantan aktivis pergerakanan.

Jimmy mengatakan, banyak versi yang beredar tentang sejarah kelam di balik tragedi yang terjadi pada1965.

“Isu PKI kembali digulirkan dan ramai sehingga membuat gaduh di tengah pandemi,” ujar Jimmy.

Menurut Jimmy, PKI merupakan partai terlarang dan tidak ada pintu lagi di Indonesia. Namun, isunya terus saja dimunculkan kembali oleh beberapa tokoh yang terkesan senagaja digulirkan untuk kepentingan politik orang-orang tertentu.

Pada gilirannya, Juanda menyatakan malam panjang 30 September 1965 yang menjadi tema diskusi itu sangat tepat karena generasi yang lahir di tahun 1980-an sejak kecil selalu disuguhi film propaganda buatan pemerintah tentang tragedi tersebut.

“Filmnya cukup panjang. Durasinya sampai 271 menit atau sekitar 4,5 jam. Jadi, selaras dengan tema diskusi malam,” jelasnya.

Menurut Juanda, Gerakan 30 September 1965 yang disebut Gestok oleh Bung Karno (Gerakan Satu Oktober) merupakan kecelakaan sejarah yang terus dihangatkan di bulan September dan dalam situasi suksesi kepemimpinan, baik nasional maupun daerah.

“Isu usang PKI dibangkitkan seperti ritual tahunan,” ucapnya.

Juanda melanjutkan, 6 jenderal dan 1 perwira TNI yang dibunuh dan dibuang di Lubang Buaya jelas merupakan tindakan keji, terlebih pasca kejadian tersebut ribuan orang mati dibantai.

“Hanya dalam sejarah Indonesia selama 6 jam ada 6 jenderal mati dibunuh. Wajar jika Bung Karno pun mengutuk Gestok,” tegas pria yang biasa disapa Joe ini.

Pembicara lainnya, Khairul Umam, menyampaikan perlunya melihat pemberontakan 1965 dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948.

Sementara itu, penggiat Lingkar Peradaban Adnan Fatoni mengatakan, diskusi yang digelar itu merupakan diskusi perdana secara daring atau virtual.

“Kesimpulannya akhirnya, lantunan Al-Fatihah tidak hanya perlu dikirimkan untuk para pahlawan revolusi dalam tragedi 30 September 1965, tetapi juga untuk ribuan korban setelah peristiwa tersebut,” pungkasnya. (Ris/Drk)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan