Tolak RUU Omnibus Law, Buruh di Tangerang Bakal Mogok Kerja

Ramzy
25 Jan 2020 09:35
2 menit membaca

TANGERANG (SBN) — Berdasarkan hasil rapat aliansi serikat buruh, DPRD dan Gubernur Banten. Para Buruh sepakat menolak RUU Omnibus Law yang dianggap dapat mendegradasi kesejahteraan Buruh. Jika RUU Omnibus Law ini dipaksakan, maka buruh akan mogok bekerja dan melakukan unjuk rasa dengan skala besar.

Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI 1973) Kabupaten Tangerang, Imam Sukarsa mengatakan, seluruh serikat buruh di Kabupaten Tangerang sepakat untuk menolak jika undang-undang ketenagakerjaan dimasukan ke dalam RUU Omnibus Law.

“Jika pemerintah pusat tetap memaksakan masalah tenaga kerja ini masuk ke dalam RUU Omnibus Law. Maka kita akan mogok kerja dan akan unjuk rasa dengan skala besar,” ujarnya kepada Wartawan, Jumat, 24 Januari 2020.

Ia melihat bahwa proses, cara dan waktu pembuatan RUU Omnibus Law ini dianggap cacat karena tidak sesuai dengan mekanisme perundangan yang berlaku. Menurutnya, prosedur membuat undang-undang harus ada kajian akademisi dan disosialisasikan terlebih dahulu.

“Selama ini pergerakan pemerintah dalam pembuat aturan dan mengakuinya secara diam-diam alias senyap, tanpa ada sosialisai. Padahal jika sudah jadi undang-undang bukan menjadi beban bagi si pembuat, tapi jadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, dengan disahkan RUU Omnibus Law, dapat mendegradasi beberapa kesejahteraan buruh. Seperti, kata dia, penghapusan upah minimum dan perluasan kesempatan kerja bagi orang asing. Disitu membiarkan tenaga kerja indonesia bersaing bebas dengan tenaga kerja asing, tanpa ada kemudahan yang diberikan.

“Hal tersebut tentu merugikan buruh, Pemerintah selama ini tidak mengetahui secara menyeluruh kesulitan yang buruh hadapi di lapangan,” tuturnya.

Berdasarkan pernyataan Sekretaris Kementerian Kordinator Bidang Ketenagakerjaan yang disiarkan pada saat Vicon Polda se-Indonesia. Imam menilai, jika upah minimum dihapuskan, maka para pekerja nanti akan melakukan negosiasi sendiri terhadap upahnya di masing-masing perusahaan.

“Jangankan negosiasi, membuat serikat perusahaan saja sangat susah, jelas tidak mungkin mereka bisa nego upah,” tegasnya.

Penyebab, upah minimum dihapuskan, kata dia, lantaran banyak perusahaan besar mampu membayar upah diatas upah minimum dan ada perusahaan yang masuk dalam kategori padat karya dan mikro saat menjalankan UMK ini mereka tidak mampu. Sehingga upah minimum dianggap tidak diperlukan

“Kami sedang menunggu pergerakan di Provinsi, jika sudah ada intruksi maka kami akan aksi dan mogok bekerja,” tutupnya.(Restu/Zie)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan