Jenderal, Ini Demonstran, Bukan Perusuh

Joe
1 Okt 2019 19:50
OPINI 0
6 menit membaca

Catatan Ilham Bintang

Saya intens mengukuti berita aksi unjuk rasa mahasiswa setelah pelajar STM ikut ambil bagian hari-hari ini. Ada warna baru. Beberapa poster mereka menggelitik. Mengundang senyum. Misalnya, “Mahasiswa Berorasi, Pelajar Yang Eksekusi.”

Saya mengikuti aksi unjuk rasa itu memang lebih banyak melalui siaran langsung televisi dari lokasi unjuk rasa di berbagai daerah di Tanah Air. Maklum, sudah tua.

Satu-satunya aksi unjuk rasa yang saya ikuti langsung adalah ketika di Banjarmasin, Kalimantan Selaran, Senin (24/9). Kebetulan, hari itu saya di sana. Hari itu saya diantar Ketua PWI Kalsel Zainal Hilmie. Saya dan Ketua Umum Atal Depari melihat dari dekat aksi damai di kantor Gubernur Kalsel yang luas di Banjar Baru, Banjarmasin, Kalsel. Demo diikuti sekitar 1.000 pelajar. Tertib. Dihadapi langsung oleh Gubernur Kalsel Sahbirin Noor. Mahasiswa menyampaikan aspirasinya, Paman Birin merespons. Dialog berlangsung hangat. Saya melihat tidak terlalu banyak polisi dikerahkan menjaga aksi unjuk rasa siang itu.

Saya juga mengikuti laporan media-media online yang melaporkan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar yang memprotes sejumlah RUU, termasuk Revisi UU KPK. Berselang-seling, saya mengintip cuitan di Twitter, komentar di Facebook, dan group-group Whatsapp. Tampaknya, kiprah pelajar STM itu memang mendapat apresiasi. Menyegarkan. Laiknya menonton bintang sepakbola sedang bertanding. Malah, ada yang merespons penuh rasa takjub. Takjub melihat para “bocah” yang terpanggil untuk mengekpresikan kegelisahannya pada urusan penyelenggaraan negara. Keterlibatan pelajar STM secara mencolok tampaknya memang baru pada aksi unjuk rasa di Jakarta.

Demo Itu Legal

Sahabat saya, Wina Armada, seorang wartawan senior, Selasa (1/10) pagi menurunkan tulisan di akun Facebook-nya. Judulnya, “Tentang Demonstrasi dan Lain-Lain”

Begini dia membuka tulisannya.

“Demonstrasi atau unjuk rasa? Boleh! Bahkan dalam banyak kasus, harus!! Demonstrasi untuk menunjukan sikap kita. Demonstrasi untuk menuntut sesuatu.”

“Demonstrasi,” lanjut master hukum dari Universitas Indonesia dan penulis buku hukum pers ini, “boleh untuk mengekspresikan kekecewaan kita. Demonstrasi untuk mendukung sesuatu. Semuanya boleh. Ini negera merdeka. Ini negara demokrasi. Seluruh rakyat bebas berdemonstrasi, asal sehari sebelumnya memberitahu.”

Ingatan saya melayang pada tahun 1996, ihwal pembahasan halalnya aksi unjuk rasa menurut konstitusi.

Waktu itu, salah seorang tokoh yang menyuarakan halalnya unjuk rasa adalah Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya. Saya masih bekerja sebagai redaktur di Harian Angkatan Bersenjata ketika itu. Pangdam bikin acara coffee morning. Kami sering diundang hadir dalam acara itu. Salah satu topik perbincangan yang menarik perhatian saya adalah soal hak hukum berunjuk rasa.

Wiranto menerangkan, menyuarakan pendapat umum di depan publik itu adalah hak azasi yang dilindungi konstitusi. Larangan berdemonstrasi, katanya, selama ini hanya bersandar pada aturan mengenai ketertiban umum. Dasar hukumnya lebih rendah dari konstitusi yang mengatur hak berunjuk rasa.

Masih segar dalam ingatan saya ketika Wiranto menambahkan begini: Kita mesti atur bagaimana caranya hak unjuk rasa itu tidak hilang hanya karena aturan demi menjaga ketertiban umum.

Dia punya proposal awal yang hendak diusulkan kepada pemerintah. Dia menyebut Stadion Lebak Bulus sebagai lokasi berunjuk rasa. Masyarakat tinggal melaporkan kepada polisi jika hendak berunjuk rasa dengan mencantumkan hari, tanggal, jam, serta jumlah massa, juga mencantumkan nama pejabat yang akan didemo.

“Nah! Kita tinggal bawa pejabatnya ke sana. Misalnya, mau demo Menpen, ya kita bawa Pak Harmoko ke sana,” ujar Wiranto.

“Tapi jangan ditulis dulu, ya. Soalnya, saya belum melapor ke Pak Kumis,“ pinta Wiranto. Pak Kumis yang dimaksud adalah Faisal Tanjung, Panglima ABRI.

Terinspirasi Demo di London

Wiranto mengakui, pihaknya tergerak membebaskan aksi unjuk rasa di Tanah Air diilhami pengalamannya di London. Saat itu, ia masih ajudan Presiden RI dan sedang mengikuti perjalanan Pak Harto ke sana.

Sebelum Pak Harto tiba di London ia berkoordinasi dengan pihak KBRI di sana. Pihak KBRI menjelaskan mengenai rute perjalanan kunjungan Pak Harto di Inggris. Ada beberapa rute yang diubah mendadak karena, pada waktu bersamaan, di kota London ada unjuk rasa berkekuatan 5.000 orang. Diam-diam, Wiranto kagum pada penguasaan medan staf KBRI itu. Dia pun bertanya dan staf itu menjawab bahwa datanya diperoleh dari kantor pilisi. Itulah yang mengilhami Wiranto. Di London memang aksi unjuk rasa adalah hak warga. Tinggal lapor polisi rencana unjuk rasa, dan demonstran pun mendapatkan pengawalan. Beres.

Saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Namun, setelah itu, khususnya di tahun 1997, aksi demo memang marak. Aksi demo mula-mula hanya di halaman kampus. Namun, lama-lama ke luar kampus dan puncaknya adalah unjuk rasa Mei 1998 yang melengserkan kekuasaan Pak Harto. Posisi Wiranto adalah Panglima ABRI ketika terjadi demo besar-besaran yang memicu aksi penjarahan massal itu.

Demonstrasi tak boleh dihalangi. Tidak boleh ditangkap. Tidak boleh dikriminalisasi, tulis Wina Armada, anggota Dewan Pers dalam status FB-nya. Menurut konstitusi kita juga, isi demonstrasi bebas mengecam eksekutif: dari presiden, menteri, dirjen, sampai aparat sipil negeri mana pun, boleh. Mengecam legislatif atau parlemen, dari DPR Pusat sampai DPRD tingkat provinsi, kota-kabupaten pun boleh. Mengecam yudikatif dari pengadilan tingkat paling rendah sampai Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi, juga boleh.

Sebagai demonstran, mereka boleh bilang kepada pihak mana pun: tidak berpihak kepada rakyat, lupa diri, tidak adil, tidak sensitif, dan sebagainya. Menuntut pihak mana pun atas sesuatu apa pun, dari yang ringan-ringan saja sampai minta mundur, boleh. Boleh.

Yang tidak boleh, kata Wina, ialah merusak. Apalagi menghancurkan dan menghilangkan barang-barang milik publik. Milik negara. Merusak fungsi-fungsi atau fasilitas untuk publik. Milik negara. Milik rakyat. Untuk rakyat. Perbuatan tersebut bukan saja merupakan perbuatan kriminal, perbuatan pidana, tetapi juga sekaligus merugikan negara. Merugikan rakyat. Menyengsarakan bangsa.

Sayangnya, Bung Wina tidak menyebut secara eksplisit bahwa, sesuai konstitusi kita, polisi sebenarnya wajib mengawal pengunjuk rasa ke tempat yang dituju dan melindungi sampai selesai pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya.

Menutup Seluruh Akses

Bersandar pada ketentuan itu maka kita bisa uji pada “pelayanan” polisi terhadap aksi unjuk rasa beberapa hari ini, terutama hari Senin (30/9) sore kemarin.

Polisi ternyata bertindak sebaliknya. Bukannya mengawal dan melindungi, justru menutup seluruh akses jalan ke gedung DPR RI yang dituju para demonstran. Massa mahasiswa dan pelajar dikepung sejauh 3 km dari TKP, dari kiri, kanan, depan, dan belakang.

Tentu mudah dibayangkan apa yang terjadi dengan penanganan seperti itu. Demonstran yang merasa haknya dirampas, melampiaskan kekesalannya dengan merusak fasilitas publik. Sampai tengah malam. Dalam sekejap, lenyaplah permainan cantik bintang-bintang lapangan, anak-anak STM itu. Yang muncul kemudian permainan kasar dan anarkistis. Merusak fasilitas publik.Tindakan itu jelas salah. Tapi, siapa yang memberi peluang terbukanya aksi anarkistis itu?

Polisi tidak salah jika bertindak represif menghadapi suasana chaos yang merusak fasilitas publik. Jelas, tindakan itu menjadi alasan pembenar bagi polisi untuk bertindak represif.

Akhirnya, unjuk rasa pun menjadi chaos. Rugi semua pihak. Aspirasi tidak sampai. Polisi gagal menjalankan fungsi pengawalan dan edukasinya kepada masyarakat. Negara pun rugi karena tindakan represif identik dengan bakar-bakar uang rakyat. Berapa uang terbakar dari aksi melepas tembakan gas air mata?

Sebenarnya, kalau saja polisi menyadari kewajiban mengawal demonstran ke TKP, banyak risiko kerugian yang bisa dihindari. Massa pendemo pun bisa terkonsentrasi. Polisi konsentrasi juga menjaga mereka dengan hanya tinggal mengelilingi demonstran. Namun, sayang sekali, kemarin polisi menghadapi demonstran laiknya perusuh.

Yang paling mengherankan, sikap Pak Wiranto ternyata berubah. Mengapa Menkopulhukan begitu membenci aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar hari-hari ini? Dengar saja narasi-narasinya yang lebih mengesankan gugup dalam merespons aksi unjuk rasa. Sepertinya dia lupa dulu di masa kekuasaan Orde Baru yang demikian otoriter dia malah bisa melahirkan gagasan perlindungan terhadap aksi unjuk rasa. Apa yang terjadi pada Pak Wiranto? Justru di era reformasi ini, ia malah melihat aksi demonstrasi seperti aksi perusuh. Padahal, demonstran dan perusuh, jelas berbeda, Jenderal. (Red)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan