Repotnya Membela Bahasa Indonesia di Negeri Sendiri

Joe
14 Okt 2019 11:51
OPINI 0
10 menit membaca

Catatan Atma Drackonia

 

“Big Deal Sale”, “Buy 1 Get 1 Free”, “Get 70% Discount”, “Factory Outlet”, “City Walk”, “Assembly Point”, “Smoking Area”, “Customer Parking”.

Ungkapan-ungkapan bahasa asing seperti di atas mengepung masyarakat Banten di ruang-ruang publik. Pengepungan tanpa ampun itu bukan hanya terjadi di perkotaan, melainkan juga di perdesaan. Bukan hal yang aneh ketika kita menemukan tanda “Discount 50%” (bukan “Diskon 50%”) di sebuah toko busana di Balaraja, Tangerang.

Kenyataannya, penggunaan bahasa asing di ruang publik tidak hanya dilakukan pihak swasta. Sebagian lembaga pemerintah pun tergiur nginggris atau keminggris (sok berbahasa Inggris). Salah satunya bisa dilihat pada papan nama Puskesmas Cadasari, Pandeglang, yang menggunakan kata “Welcome to”, bukan “Selamat Datang di”.

Papan nama Puskesmas Cadasari yang nginggris di Pandeglang, Banten (Sumber: presentasi M. Luthfi Baihaqi)

“Memangnya, berapa banyak, sih, orang asing yang berobat di puskesmas itu?” tanya Kepala Kantor Bahasa Banten M. Luthfi Baihaqi saat mengawali acara Penyuluhan Bahasa Indonesia bagi Pelaku Media Massa di Kota Tangerang yang berlangsung di Sekretariat PWI Kabupaten Tangerang, Cikokol, Rabu (9-10-2019).

 

Kegandrungan akan Bahasa Asing: Sok Nginggris

Kepala Kantor Bahasa Banten menilai banyak masyarakat Indonesia yang mengidap kegandrungan akan bahasa asing (xenoglossophia), terutama bahasa Inggris. Mereka cenderung nginggris atau keminggris dan merasa bangga ketika bisa menyelipkan kata-kata bahasa Inggris ke dalam ucapan atau tulisannya. Seolah-olah, makin banyak kata bahasa Inggris yang diselipkan, makin merasa keren.

Penilaian Kepala Kantor Bahasa Banten itu bisa dibuktikan melalui pengamatan sehari-hari. Rasa keren karena menyelipkan bahasa asing bisa dilihat pada berbagai kalangan, dari pejabat, pesohor, sampai masyarakat awam. Di Kabupaten Tangerang, misalnya, beberapa waktu yang lalu para aparatur sipil negara (ASN) memilih menggunakan istilah open bidding untuk “lelang terbuka” jabatan. Selain itu, istilah memorandum of understanding jauh lebih sering digunakan ketimbang “nota kesepahaman” dan singkatannya (MOU) juga dibaca seturut bahasa Inggris, ém-ow-yu, bukan ém-o-u.

Untuk melihat bagaimana kalangan artis, politisi, akademisi, dan masyarakat awam merasa keren ketika menyelipkan kata-kata asing, silakan Anda tonton acara-acara infotainmen dan gelar wicara (talk show) di televisi. Dalam konteks ini, lihatlah bagaimana dunia hiburan melantik Didi Kempot sebagai The Godfather of Broken Heart.

Didi Kempot: The Godfather of Broken Heart. (Sumber: laman Facebook CNN Indonesia)

Kegandrungan kepada bahasa asing juga muncul dalam bentuk penggunaan kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dalam presentasinya yang berjudul, “Tata Kata dan Tata Kalimat” (Kamis, 10-10-2019), Diana Tustiantina mencontohkan beberapa kata serapan yang lebih sering digunakan ketimbang padanannya. Misalnya, kata “visitasi” dan “kontemporer” yang lebih sering digunakan ketimbang “kunjungan” dan “mutakhir”.

 

Upaya Menertibkan Penggunaan Bahasa di Ruang Publik

Perihal penggunaan bahasa di ruang publik, Kantor Bahasa kesulitan menertibkannya karena sebagian besar pelakunya adalah pihak swasta. Kantor Bahasa sendiri memang tidak memiliki kewenangan untuk menegur. Selain itu, memang tidak ada sanksi terhadap penggunaan bahasa asing di ruang publik.

Sebenarnya, dasar hukum pengutamaan bahasa Indonesia di ruang publik sudah ada, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Pasal 10 ayat 1 peraturan menteri itu berbunyi: “Penyelenggara reklame harus menyusun naskah reklame dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan menggunakan huruf latin.”

Faktanya, masih banyak kepala daerah yang tidak bisa menerapkan peraturan tersebut di wilayahnya—seperti kasus papan nama Puskesmas Cadasari di atas. Karena itu, Kantor Bahasa sangat berharap pemerintah daerah mengeluarkan peraturan yang bisa diterapkan secara efektif.

Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, mengeluarkan Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame yang sejalan dengan Pasal 10 Permen Dalam Negeri No. 40 Tahun 2007. Selain itu, Gubernur Jakarta Jarot Saiful Hidayat juga mengeluarkan Keputusan Gubernur No. 1931 Tahun 2017 tentang Penetapan Nama Jalan Simpang Susun Semanggi yang sebelumnya menggunakan bahasa Inggris, Semanggi Interchange.

Penamaan Moda Raya Terpadu dan Kalayang (Sumber: presentasi M. Luthfi Baihaqi)

Selain Simpang Susun Semanggi, ruang publik lainnya yang berhasil ditertibkan Pemerintah DKI adalah proyek kereta api cepat. Proyek yang semula menggunakan nama bahasa Inggris, Mass Rapid Transit (MRT) itu sekarang diindonesiakan menjadi Moda Raya Terpadu. Mungkin padanan MRT ini terasa dipaksakan, tetapi tampaknya itulah padanan terbaik yang dapat ditemukan.

Nama transportasi lainnya yang telah diindonesiakan adalah Kalayang (kereta api layang) yang mulanya bernama Skytrain. Kalayang adalah moda transportasi kereta tanpa awak yang menghubungkan Terminal 1, 2, dan 3 di Bandara Soekarno-Hatta.

 

Media Massa, Bahasa Indonesia, dan Kelatahan Berbahasa

Di media massa televisi, penggunaan bahasa Inggris untuk nama acara masih banyak. Kita boleh pilih: Breaking News, Indonesia Lawyers Club, Celebrity on Vacation, atau lainnya. Saya tidak tahu bagaimana dengan kondisi di media radio dan cetak. Kemungkinan besar, penggunaan bahasa Inggris sebagai nama acara atau rubrik sangat minim di dua jenis media itu.

Sumber: Kanal Kompas TV di YouTube

Pada media berita, baik daring maupun luring, di internal kalangan wartawan masih digunakan istilah news room (ruang redaksi), headline (tajuk berita), dan lead (teras berita), sementara dalam berita yang mereka tuliskan, kita masih menemukan penggunaan kata owner (pemilik), launching (peluncuran), event (kegiatan), dan kick-off (tendangan awal).

Bisa dilihat bahwa para wartawan juga masih gemar menggunakan istilah asing yang sudah diserap dibandingkan menggunakan padanannya. Misalnya, mereka lebih memilih kata “sosialisasi” ketimbang “pemasyarakatan”, “akselerasi” ketimbang “percepatan”, dan “diseminasi” ketimbang “penyebaran”.

Namun, dalam banyak kasus, penggunaan kata serapan asing itu bukan pilihan wartawan. Mereka hanya memberitakan sesuai dengan bahasa yang digunakan narasumbernya. Para pejabat (narasumber) justru yang tampak lebih gandrung menggunakan kata serapan asing agar terlihat keren.

Selain itu, teman-teman wartawan juga banyak yang mengidap “penyakit” latah. Mereka cenderung menggunakan kata-kata tanpa mengetahui atau tanpa mengecek ulang makna tepatnya. Saya sering menemukan berita yang menggunakan kata “tukas” (“tukasnya” atau “tukas A”) di akhir paragrafnya. Penggunaan kata “tukas” di sana tidak pada tempatnya karena tidak satu pun makna kata “tukas” yang tepat digunakan di sana.

Kata lain yang para wartawan latah menggunakannya adalah “sekira”. Mereka menggunakan kata ini dalam pengertian “kira-kira”, “sekitar”, atau “kurang lebih”, padahal kata “sekira” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V sama maknanya dengan kata “sekiranya” yang berati “seandainya” atau “jikalau”.

Kesalahan lain yang sering ditemukan pada media cetak adalah pemenggalan kata (hyphenation). Banyak kata yang dipenggal bukan pada tempat yang semestinya. Misalnya, kata “pertanyaan” dipenggal menjadi “pertan-yaan” (mestinya, “per-ta-nya-an”). Kesalahan ini besar kemungkinan karena editornya kurang teliti atau hanya mengandalkan sistem pemenggalan kata program pengolah kata yang digunakan yang umumnya menggunakan bahasa Inggris.

Pada media daring (dalam jaringan, online), kesalahan pemenggalan kata ini tidak terjadi lagi karena penulisan berita di media daring umumnya tidak menggunakan pemenggalan kata. Paragraf berita pada media daring ditulis rata kiri, bukan rata kiri-kanan sebagaimana pada media cetak.

 

“Negara ini sebetulnya peduli dengan penggunaan bahasa Indonesia tidak, sih?”

Di akhir penyuluhan (hari ketiga, Jumat, 11-10-2019), Anitawati Bachtiar, peneliti bahasa dari Kantor Bahasa Banten, menyampaikan hasil penelitian bahasa Indonesia yang digunakan media cetak di Banten. Ada 16 media cetak yang diteliti Kantor Bahasa Banten. Hasilnya: 8 media termasuk kategori Terkendali A (kesalahan di bawah atau sama dengan 10%) dan 8 media termasuk kategori Terkendali B (kesalahan di atas 10%).

Melihat jumlah yang termasuk ke dalam masing-masing kategori, tampaknya berimbang: sama-sama 8 media. Namun, jika melihat persentase kesalahan masing-masing media, terlihat kesenjangan yang cukup signifikan. Persentase kesalahan terkecil 2%, sedangkan persentase kesalahan terbesar 41%.

Anita mengakui bahwa, sejauh ini, baru media cetak yang diteliti, belum mencakup media elektronik (radio dan televisi) dan digital (internet). Dia juga mengakui bahwa belum ada penghargaan yang diberikan kepada media-media yang berhasil menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sejauh ini, baru menjadi objek penelitian.

Tiadanya (atau belum adanya) penghargaan ini mengingatkan saya pada penolakan Eka Kurniawan atas Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 yang diberikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 9 Oktober 2019, dalam status Facebook-nya, Eka menuliskan secara panjang lebar alasan penolakannya atas anugerah yang akan diserahkan pada tanggal 10 Oktober 2019 itu.

Salah satu hal yang mengganggu Eka adalah bahwa selain anugerah berupa pin, dia juga akan memperoleh uang Rp50 juta.Nilai ini jelas jauh lebih kecil dibandingkan hadiah yang diberikan kepada para peraih medali pada Asian Games 2018.

Peraih medali emas perseorangan pada Asian Games 2018 memperoleh hadiah Rp1,5 miliar; peraih medali perak perseorangan, Rp500 juta; dan peraih medali perunggu perseorangan, Rp250 juta. Kontras jumlah hadiah tersebut membuat Eka bertanya, “Negara ini sebetulnya peduli dengan kesusastraan dan kebudayaan secara umum tidak, sih?”

Pertanyaan Eka terngiang ketika, dalam salah satu sesi penyuluhan, pemateri mengadakan kuis untuk mengetahui penguasaan bahasa Indonesia para peserta. Tiga orang yang dinyatakan pemenang mendapatkan hadiah majalah sastra Kandaga terbitan Kantor Bahasa Banten. Sayangnya, edisi Kandaga yang diberikan sebagai hadiah adalah edisi tahun 2018, bukan edisi terbaru (2019).

Majalah sastra Kandaga edisi April 2018 terbitan Kantor Bahasa Banten

Bagi saya, tidak adanya penghargaan bagi pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar ini terasa mengganggu. Di satu sisi, pemerintah menuntut masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar; di sisi lain, tidak ada penghargaan dari pemerintah kepada mereka yang berhasil, baik lembaga maupun perseorangan.

Karena itu, saya pun bertanya sendiri, “Negara ini sebetulnya peduli dengan penggunaan bahasa Indonesia tidak, sih?”

 

Tak Ada Gading yang Tak Retak

Kegiatan Penyuluhan Bahasa Indonesia bagi Pelaku Media Massa di Kota Tangerang berlangsung di Sekretariat PWI Kabupaten Tangerang, Cikokol, selama tiga hari (9 s.d. 11-10-2019).

Ada enam pemateri dalam kegiatan tersebut. Hari pertama: M. Luthfi Baihaqi (Kepala Kantor Bahasa Banten) dan Aat Surya Syafaat (wartawan senior, mantan pemred Antara, aksesor wartawan utama pada Uji Kompetensi Wartawan PWI). Hari kedua: Adek Dwi Oktaviantina (Kantor Bahasa Banten) dan Maulana Wahid Fauzi (praktisi media massa dan pengurus PWI Banten). Hari ketiga: Diana Tustiantina (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa) dan Anitawati Bachtiar (Kantor Bahasa Banten).

Salah satu hal menarik yang saya dapatkan dalam penyuluhan itu adalah bahwa kesalahan berbahasa bisa menghinggapi siapa saja, bahkan seorang pakar bahasa sekalipun. Terbukti, kesalahan berbahasa juga menghinggapi beberapa pemateri, baik dalam tuturan mereka maupun dalam materi tertulis presentasinya.

Dalam presentasi Kepala Kantor Bahasa Banten (Rabu, 9-10-2019), misalnya, ada saltik (salah ketik, typo) yang mengganggu. Pada segmen presentasi “Kondisi Ruang Publik di Provinsi Banten”, kata depan “di” ditulis serangkai, “Dimana Kita Berada?” (mestinya ditulis terpisah, “Di Mana Kita Berada?”).

Kesalahan penulisan kata depan “di” pada materi presentasi (Sumber: presentasi M. Luthfi Baihaqi)

Dalam segmen presentasi “Soal Ejaan Pada [sic!] Surat Kabar” (Kamis, 10-10-2019), Adek Dwi Oktaviantina menjelaskan bahwa penulisan kalimat “Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan meminta ….” adalah salah. Menurutnya, yang benar adalah “Ketua umum partai amanat nasional (PAN), Zulkifli Hasan, meminta ….” Ini jelas tidak tepat karena ini bukan keterangan aposisi. Partai Amanat Nasional adalah nama diri lembaga yang harus ditulis dengan huruf awal kapital. Selain itu, antara jabatan dan nama orang yang ditulis sesudahnya tidak diselingi tanda koma (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, “Huruf Kapital”, butir 6).

O, ya, penulisan yang baku adalah “wali kota”, bukan “walikota”.

Kesalahan penggunaan huruf dan tanda baca pada penulisan jabatan dan nama (Sumber: presentasi Adek Dwi Oktaviantina)

Ada juga kesalahan yang tidak bersifat kebahasaan, melainkan lebih kepada metode statistik penelitian. Ada ketidakkonsistenan dalam penetapan ukuran untuk kriteria Terkendali A dan Terkendali B dalam penelitian “Penggunaan Bahasa Indonesia di Media Massa Lokal Banten” yang dipresentasikan Anitawati Bachtiar (Jumat, 11-10-2019).

Dalam penelitian tersebut ditetapkan bahwa kriteria untuk Terkendali A adalah “… jumlah kesalahan struktur kalimat dan paragraf kurang dari atau sama dengan (≤)10% dari jumlah keseluruhan kalimat dalam dokumen,” sedangkan Terkendali B adalah “… jumlah kesalahan lebih dari (>)10% dari jumlah keseluruhan tanda baca dalam dokumen” (huruf miring dari penulis).

Kesalahan penetapan kriteria dalam penelitian (Sumber: presentasi Anitawati Bachtiar)

***

Kesalahan-kesalahan di atas (dan lainnya) tentunya tidak disengaja. Mungkin itu hanya kekhilafan ketika mengetik atau menjelaskan. Meski begitu, memang terasa ironis ketika kesalahan itu dilakukan para ahli bahasa Indonesia dari Kantor Bahasa dan terjadi justru pada kegiatan penyuluhan penggunaan bahasa Indonesia yang mereka selenggarakan. (Atm)

 


Penyangkalan: Setiap artikel yang dimuat dalam kategori Opini di Suarabantennews.com mencerminkan pendapat dan menjadi tanggung jawab penulisnya. Suarabantennews.com tidak menjamin validitas dan akurasi informasi yang disampaikan dalam opini tersebut.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan