PLTU Jawa 9 dan 10 Dituding Bakal Jadi Beban Polusi Banten

Ramzy
14 Sep 2020 13:13
3 menit membaca

SERANG (SBN) — Aktivis lingkungan dan mahasiswa menyoroti terkait terus berjalannya proyek pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 di Cilegon, yang dituding akan memberikan ancaman bagi masyarakat.

PLTU tersebut disponsori oleh PLN, PT Barito Pacific Tbk, dan juga BUMN asal Korea Selatan, Korea Power Corporation (KEPCO).

“PLTU ini menambah ancaman baru bagi masyarakat Banten khususnya Kota Cilegon. Jangan beri masyarakat angin surga, tapi yang datang malah angin debu berbahaya,” tegas Mad Haer, koordinator Pena Masyarakat, komunitas peduli lingkungan Banten, Senin, 14 September 2020.

Ia mengungkapkan, sebelumnya, pada 5 Oktober 2017, Presiden Joko Widodo meresmikan pembangunan proyek PLTU Jawa 9 dan 10 dan PLTU Jawa 7. Keduanya merupakan bagian program ambisius Jokowi, megaproyek infrastruktur listrik 35.000 MW, yang didominasi pembangkit energi kotor batubara. Padahal, menurutnya, saat ini sudah banyak pembangkit dan sumber-sumber polusi lain di sekitar PLTU tersebut.

“Bahkan ada PLTU tua yang seharusnya sudah dipensiunkan, masih beroperasi dengan emisi yang tinggi di dekat PLTU Jawa 9 & 10. PLTU ini jelas hanya menambah beban polusi udara yang mencemari udara wilayah terdampak,” ujarnya.

Ia menambahkan, sejak awal, proyek PLTU Jawa 9 & 10 mendapat kecaman dari sejumlah organisasi lingkungan dan masyarakat sipil karena berbagai risiko yang muncul terkait pembangunannya.

“Laporan berjudul ‘Racun Debu di Kampung Jawara’ yang disusun Trend Asia, Walhi Jakarta, dan Pena Masyarakat memaparkan, proyek PLTU Jawa 9 & 10 amat berisiko dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Analisis pemodelan dampak kesehatan PLTU Jawa 9 & 10 yang dilakukan Greenpeace Indonesia juga mengungkap perkiraan lebih dari 4.700 kematian dini yang akan terjadi selama 30 tahun masa PLTU tersebut beroperasi,” jelasnya.

Sementara itu, Peneliti dan Pengampanye Trend Asia Andri Prasetio mengatakan, rencana pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 seharusnya segera dihentikan. PLTU Jawa 9 dan 10 adalah proyek problematis dan tidak memiliki urgensi yang jelas serta terukur. Dampak negatif yang timbul bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat akan sangat besar.

“Dari segi ekonomi, PLTU Jawa 9 & 10 bahkan diproyeksikan menjadi proyek merugi dengan total nilai kerugian sebesar 610 miliar rupiah. Padahal, proyek ini akan dibangun dari dana utang luar negeri yang mencapai 50 triliun rupiah,” katanya.

Selain itu, proyek PLTU Jawa 9 & 10 ini tidak dibutuhkan karena kelebihan kapasitas listrik (over-capacity) dalam jaringan Jawa-Bali telah mencapai 41,5%. Sementara, selama pandemi COVID-19, konsumsi listrik oleh industri, bisnis, dan masyarakat terus menurun.

“Hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Monash University dan Agora Energiewende pun menemukan, Sistem Pembangkit Listrik Jawa-Bali berpotensi menjadi aset terlantar akibat kelebihan kapasitas sebesar 13,3 GW selama 10 tahun mendatang,” ungkapnya.

Sementara itu, Presiden Untirta Movement Community Farhan Al Muflih, mengaku mengalami dan melihat langsung bagaimana pembangkit energi kotor batubara telah merusak wilayah tempatnya tinggal.

“Energi kotor yang hari ini menjadi sumber utama energi negara, terbukti secara masif merusak lingkungan dan ekonomi karena dimonopoli oleh korporasi besar tanpa adanya kepedulian pada masyarakat. Karena itu, energi bersih terbarukan harus dikembangkan demi keberlangsungan hidup umat manusia,” tandasnya.(Hendra/Zie)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan