Tolak Raperda RZWP3K, Nelayan Bakar Ikan di Depan Gedung DPRD Banten

Ramzy
6 Agu 2019 13:30
2 menit membaca

SERANG (SBN) – Puluhan nelayan yang tergabung dalam Aliasi Masyarakat untuk Keadilan (Amuk) Bahari berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Banten, KP3B, Kota Serang, Senin (5/8/2019). Mereka menuntut agar DPRD Banten menolak Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang diusulkan Pemprov Banten.

Titik awal penyampaian aspirasi dilakukan di depan Kantor Gubernur Banten dengan menggelar orasi. Di sela-sela orasi, nelayan meminta agar bisa bertemu dan beraudiensi dengan Gubernur Banten Wahidin Halim. Akan tetapi hal itu tak mendapat respon dari pemprov.

Pukul 12.00 WIB, titik aksi bergeser ke depan Gedung DPRD Banten. Di sana, selain berorasi mereka juga menggelar aksi teatrikal. Dalam skenarionya, teatrikal menceritakan seorang nelayan yang mendapat hasil tangkapan ikan melimpah.

Nelayan juga menyalakan api unggun dan membakar ikan berbagai ukuran hasil tangkapan nelayan. Beberapa dari mereka berteriak, jika laut ada untuk dilestariakan bukan dirusak oleh pertambangan pasir laut. Setelah matang, ikan itu langsung dimakan bersama-sama oleh para nelayan.

Ketua Serikat Nelayan Lontar mengatakan, Raperda RZWP3K dinilai justeru akan menyingkirkan serta membatasi ruang hidup nelayan sepanjang pesisir Banten.

“Raperda tersebut banyak mengakomodasi kepentingan industri pariwisata, privatisasi pulau kecil, reklamasi. Pasal 21 ini bertentangan denga Pasal lainnya. Istilahnya pasal satu membunuh pasal lainnya,” katanya.

Sementara itu, perwakilan massa aksi Daddy Hartadi menjelaskan, Raperda RZWP3K dari sisi administrasi tak layak untuk dilakukan pembahasan, terlebih disahkan menjadi perda. Sebab, mereka menilai belum ada kajian lingkungan hidup strategis dan analisis resiko bencana akibat penambangan pasir yang ditimbulkan jika Raperda tersebut jadi disahkan.

“Raperda mengakomodir penambangan pasir di laut, padahal adanya larangan untuk melakukan penambangan di laut sebagaimana diatur dalam UU 27 Tahun 2007 dan direvisi dengan UU 1 Tahun 2014, dimana dalam pasal 35 dilarang melakukan penambangan pasir, jika dapat merusak ekosistem perairan. Pasal 35 ayat 1, melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya,” ucapnya.

Anggota Pansus Raperda RZWP3K Fitron Nur Ikhsan mengatakan, semua masukan dari nelayan adalah hal yang mesti dipertimbangkan dan akan disampaikan dalam pembahasan raperda selanjutnya.

“Negara tidak boleh kalah dengan korporasi,
kita berada di gedung ini atas kehendak rakyat, kalau bapak dan ibu tidak mengendaki mengapa kami semangat melanjutkan,” tandasnya.(hen/zie)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan