Kebijakan Satu Harga Solusi Tambal Sulam Mengatasi Gejolak Harga Minyak Goreng

Joe
27 Jan 2022 10:35
5 menit membaca

Oleh: Eno Fadli*

OPINI (SBN) — Minyak goreng yang melambung tinggi menyebabkan pemerintah memberlakukan kebijakan satu harga untuk komoditi ini. Kebijakan ini mulai diberlakukan rabu tanggal 19 Januari 2022 untuk seluruh wilayah Indonesia dengan harga sebesar Rp 14.000 per liter. Pemberlakuan ini untuk seluruh minyak goreng baik kemasan premium ataupun kemasan sederhana yang ditujukan untuk kebutuhan rumah tangga dan usaha mikro dan usaha kecil.

Dalam pelaksanaan kebijakan satu harga ini, dimulai dari ritel modern yang menjadi anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Sedangkan untuk pasar tradisional akan diberi waktu 1 minggu untuk melakukan penyesuaian. Pemerintah juga memberi sanksi pada produsen maupun perusahaan minyak goreng yang nekat menjual produknya diatas Rp 14.000 per liter berupa pembekuan dan pencabutan izin usaha, jika didapati melakukan kecurangan akan dibawa ke ranah hukum (Kompas.com, 19/01/2022).

Hal ini tentunya dikeluhkan para pedagang baik itu pedagang pasar ataupun pedagang waralaba (tradisional). Mereka para pedagang tradisional terancam rugi dan meminta agar pemerintah membatalkan kebijakan ini karena tidak adanya penyesuaian harga stok bagi pedagang tradisional.

Dilansir (Medcom.id 23/01/2022), pedagang di Pasar Gudang Tigaraksa, Kabupaten Tangerang Banten menyebutkan bahwa “ kebijakan tersebut (kebijakan satu harga) membuat para pedagang terancam rugi” dan hingga tanggal 23 Januari 2022 minyak goreng di agen masih dijual dengan harga Rp 18.000 per liternya. Karena kebijakan ini pula konsumen lebih memilih untuk membeli minyak goreng di tingkat ritel dengan harga Rp 14.000 per liter akibatnya terjadi penumpukan stok dalam empat hari terakhir.

Semenjak kebijakan satu harga ini ditetapkan, fakta di lapangan terjadi panic buying pada masyarakat. Masyarakat berbondong-bondong mendapatkan minyak murah di ritel-ritel modern sehingga pada hari pertama diberlakukan banyak toko yang kehabisan stok sehingga sebagian masyarakat tidak kebagian minyak murah dan sampai sekarang faktanya minyak goreng di ritel- ritel modern menjadi barang yang sulit didapati sehingga memunculkan dugaan adanya praktik penimbunan barang

Selama Pandemi Covid-19 sudah berapa kali fenomena panic buying ini terjadi. Beberapa komoditas barang seperti masker, hand sanitizer, temulawak dan susu beruang serta sekarang minyak goreng pun tak luput dari fenomena ini.

Anggota Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno melihat fakta yang terjadi berpendapat, bahwa perlunya edukasi dan kesadaran masyarakat karena berkaca dari kejadian-kejadian sebelumnya, dan tindakan panic buying juga bukan tindakan smart baik dari sisi ekonomi dan sosial. Disamping itu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kurang spesifik dan lemah dalam pengawasan, ketika kebijakan yang ditetapkan tidak diimbangi dengan mekanisme dan pengawasan yang kuat justru malah menimbulkan masalah baru dan salah sasaran (kompas.com, 22/01/2022).

Solusi tambal sulam dalam menyelesaikan kenaikan harga tampaknya sudah menjadi ciri khas dari pemerintahan kapitalistik. Menyelesaikan kenaikan harga hanya mencukupkan dengan pemberian subsidi, pemerintah tidak sedikitpun menyentuh akar masalah kenapa sampai terjadi kenaikan harga, sehingga fenomena ini terus berulang dan malah memunculkan masalah-masalah baru.

Pemberian subsidi yang bersifat terbuka rentan salah sasaran jika tidak diimbangi dengan mekanisme dan pengawasan yang kuat karena semua dapat mengaksesnya dengan mudah. Masyarakat yang semestinya mendapatkan manfaat dari subsidi yang diberikan pemerintah, justru kalah dengan konsumen yang mempunyai kemampuan finansial lebih sehingga muncul fenomena panic buying dan hal ini pula yang memungkinkan terjadinya penimbunan oleh kalangan yang ingin mengambil keuntungan pribadi.

Minyak goreng menjadi kebutuhan dasar masyarakat (kebutuhan pokok), maka menangani lonjakan harga yang terjadi diperlukan tata kelola kebutuhan pokok yang benar, inipun berlaku untuk komoditas lainnya. Tata kelola kebutuhan pokok yang buruk pada pemerintahan kapitalistik membuat harga minyak melambung tinggi.

Dilihat terjadi kenaikan harga minyak dalam negeri tidak terlepas dari mekanisme pasar internasional di mana penentuan harga masih berpatokan pada bursa komoditas yang tidak ada kaitan langsung dengan pasokan/industri dalam negeri. Saat ini harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) internasional mengalami kenaikan yang disebabkan adanya penurunan produksi sawit mentah di negara Malaysia sebagai penyuplai sawit dunia dan karena adanya krisis energi di Uni-Eropa, Tiongkok, dan India sehingga negara- negara tersebut melakukan peralihan ke minyak nabati.

Untuk itu menurunkan harga minyak tidak dengan menetapkan kebijakan satu harga dan dicukupkan dengan pemberian subsidi tapi justru dibutuhkan solusi yang mendasar dengan tata kelola kebutuhan pokok yang benar, ini hanya ditemui pada sistem ekonomi Islam yang hanya akan diterapkan pada pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam sistem ekonomi Islam diterapkan tata kelola kebutuhan pokok yang berlandaskan syariah, di mana syariah mengatur negara hadir untuk mengurusi urusan rakyat dan memberikan perlindungan padanya dengan menjamin dan bertanggung jawab pada setiap pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.

Mekanisme yang bisa diterapkan negara dalam mengatasi gejolak harga, yaitu:

1. Dengan menjaga pasokan dalam negeri dengan cara membuka akses lahan yang sama untuk masyarakat sehingga tidak yang diistimewakan, apalagi sampai mengistimewakan korporasi atau para kapital. Memaksimalkan produktivitas lahan dengan mensuport petani melalui modal, edukasi (pelatihan), serta ditunjang dengan sarana produksi dan infrastruktur yang memadai dari pemerintah.

2. Negara menciptakan pasar yang sehat dan kondusif dalam masalah pendistribusian dengan cara mengawasi rantai tata niaga sehingga tidak bermunculan mafia-mafia pasar yang mengganggu perekonomian, serta menyingkirkan segala penyebab yang akan menjadikan kondisi ekonomi terganggu, misalnya praktik penimbunan yang kerap terjadi ketika ada kenaikan harga dan tentunya memperparah kondisi ekonomi yang ada.

3. Mengawasi pasar agar penentuan harga tetap mengikuti mekanisme pasar secara alami, karena Islam mengharamkan pematokan harga. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Anas ra, mengatakan :

Harga pada masa Rasulullah SAW, pernah membumbung. Lalu mereka melapor, “ ya Rasulullah, seandainya saja harga ini engkau patok (tentu tidak akan membumbung seperti ini”). Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi Rezeki dan Maha Menentukan Harga, sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah, sementara tidak ada seorangpun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah”.
(HR. Ahmad).

Oleh karena itu mekanisme inilah yang tidak ditemui pada pemerintahan kapitalis, dalam menangani gejolak harga. Gejolak harga yang terjadi sekarang ini karena disebabkan permasalahan sistematis, maka penyelesaiannya pun harus sistematis pula yang dibarengi dengan cara yang tepat dan benar, tentunya solusi yang tepat dan benar yang menyentuh akar masalah hanya akan ditemui pada syariat Islam, sebagai sumber segala solusi dari setiap permasalahan dalam kehidupan.

Wallahu a’lam bishshwab.

————

*Pemerhati Kebijakan Publik

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan