Tantangan Era Digital dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Redaksi
26 Feb 2019 21:57
9 menit membaca

Oleh : Suci Wahyuningsih

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia
Sekolah Pascasarjana Prof.DR. HAMKA Jakarta

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terakhir mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal tersebut dikarenakan oleh kuatnya era globalisasi, di mana komputer dan internet dengan sifatnya yang dinamis merupakan fasilitas yang telah mendominasi berbagai aktivitas kehidupan, sehingga aktivitas pendidikan secara mutlak memerlukan ketersediaan fasilitas tersebut.

Dalam hubungan dengan pendidikan, contoh sederhana seiring berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, adanya komputer dan jaringan komputer (internet) memberikan kemudahan bagi para siswa. Para siswa dapat memperoleh bahan-bahan pembelajaran melalui internet tadi. Maksudnya untuk mendapatkan materi pelajaran, para siswa tidak harus terikat dengan ruang dan waktu di ruang kelas pada jam-jam pelajaran. Mereka dapat memperoleh materi melalui komputer di rumah yang tersambung dengan internet.

Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan banyak hal yang dapat dirubah menjadi lebih baik. Seiring berjalannya waktu, pendidikan juga mengalami perubahan. Dalam proses perubahan pendidikan sangat tergantung pada figur seorang guru. Guru merupakan pemeran utama dalam proses belajar mengajar di sekolah, peran guru di sekolah memiliki peran ganda, di pundak merekalah terletak mutu pendidikan. Guru adalah seorang manajer yang mengelola proses pembelajaran, merencanakan, mendesain pembelajaran, melaksanakan aktivitas pembelajaran bersama siswa, dan melakukan pengontrolan atas kecakapan dan prestasi siswa. Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan sosok yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar di sekolah. “Sebagus apapun materi sekolahnya, gedung sekolahnya, kuncinya ada pada guru. Jika gurunya baik, maka kualitasnya akan menjadi baik. Jika gurunya bermasalah, maka kualitasnya akan bermasalah.” kata Anies Baswedan dalam wawancara dengan awak media televisi di Istana Negara saat pengumuman Kabinet Kerja.

Menurutnya, pendidikan adalah soal interaksi antar manusia. Interaksi antar pendidik dan peserta didik, antara orang tua dan anak, antara guru dan murid, serta antara lingkungan dan para pembelajar. Sedangkan guru adalah inti dari sebuah proses pendidikan.

“Berhenti memandang soal guru sebagai “sekadar” atau sebatas urusan kepegawaian. Soal guru adalah soal masa depan bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia.

Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa depan bangsa Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin bangsa memperlakukan masa depannya”, tulisnya, dalam situs Anies Baswedan. Menurutnya, seorang murid menyukai pelajaran bukan sekadar karena buku atau kurikulumnya, melainkan karena gurunya. Guru yang menyebalkan membuat murid menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan dan inspiratif membuat murid mencintai pelajarannya. “Guru harus sadar diri bahwa ia memegang peran besar, mendasar dan jangka panjang sifatnya. Jika seseorang tidak mau menjadi pendidik yang baik, lebih baik berhenti menjadi guru. Terlalu mahal konsekuensi negatifnya bagi masa depan anak dan masa depan bangsa,“ tegasnya.
Dengan adanya perkembangan teknologi dan informasi yang pesat memunculkan tantangan bagi dunia pendidikan untuk bisa menjawab segala tantangan yang hadir pada zaman millennial ini. untuk meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan. Dengan cara, mengganti kurikulum. Menurut Kemdikbud, Anies Baswedan menyampaikan secara prinsip kurikulum harus menyesuaikan zaman. Semua materi pendidikan harus menyesuaikan dengan apa yang terjadi. “Jangan pula kita membuat perubahan yang tidak bisa dijalankan dan jangan kita membuat perubahan yang sifatnya ekstrim kemudian merepotkan. Kita ini tujuannya mencerdaskan bukan memuaskan yang membuat kebijakan,” tambahnya.

Kurikulum tidak boleh meninggalkan kemajuan teknologi pendidikan. Peningkatan penggunaan teknologi pendidikan akan menyebabkan naiknya tingkat efektivitas dan efisien proses belajar mengajar selalu menonjolkan peranan guru, terutama dalam memilih bahan dan cara penyampaiannya.

Dengan majunya teknologi informasi, diharapkan bahwa mengajar adalah membuat yang belajar mengajar diri sendiri. Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar selanjutnya, sistem penyampaiannya tidak harus dengan tatap muka antara guru dan siswa.

Sekarang peran guru dapat digantikan dengan media instruksional baik yang berupa media cetak maupun non cetak terutama di media elektronik, misalnya komputer, internet, satelit komunikasi dan rekaman video dan sebagainya.

A.W. (Tony) Bates dalam bukunya Teaching In A Digital Age menyampaikan pedoman pengajaran dan pembelajaran yang efektif di zaman ketika kita semua, dan khususnya siswa yang kita ajar, menggunakan teknologi. Berikut beberapa teori-teori pembelajaran yang terdapat dalam Bab 2:

1. Objectivism

Seorang guru “objektivis” harus sangat mengendalikan apa dan bagaimana siswa belajar, memilih apa yang penting untuk dipelajari, urutan, kegiatan pembelajaran, dan bagaimana pelajar harus dinilai.

Jadi, kata kunci dari pendekatan pembelajaran objectivism adalah suatu pendekatan yang tidak melihat proses belajar siswa atau peserta didik, melainkan hasil belajar dari siswa tersebut. Sebagai contoh, siswa harus mengikuti aturan atau kemauan guru. Misalnya, dalam hal nilai untuk tiap mata pelajaran diharuskan untuk mencapai nilai kkm. Jika siswa tersebut jarang masuk sekolah maka dipastikan nilai yang diperoleh oleh siswa tersebut jauh dari yang diharapkan atau kurang bagus bahkan bisa di bawah kkm. Mengapa demikian? karena siswa tadi sudah ketinggalan pelajaran di kelas.

2. Behaviorisme

Meskipun awalnya dikembangkan pada tahun 1920-an, behaviorisme masih mendominasi pendekatan pengajaran dan pembelajaran di banyak tempat, terutama di Amerika serikat. Behaviorist psikologi adalah upaya untuk memodelkan studi perilaku manusia pada metode ilmu fisika, dan karena itu memusatkan perhatian pada aspek-aspek perilaku yang mampu pengamatan dan pengukuran langsung. Inti dari behaviorisme adalah gagasan bahwa respons perilaku tertentu menjadi terkait secara mekanistik dan tidak tetap dengan rangsangan tertentu. Dengan demikian stimulus tertentu akan membangkitkan respons tertentu.

Ini pada dasarnya adalah konsep pengkondisian operan, sebuah prinsip yang paling jelas dikembangkan oleh Skinner (1968). Dia menunjukkan bahwa merpati dapat dilatih dalam perilaku yang cukup kompleks dengan menghargai respons tertentu yang diinginkan yang mungkin awalnya terjadi secara acak, dengan rangsangan yang tepat, seperti penyediaan pellet makanan.

Kata kunci dari pendekatan pembelajaran behaviorisme adalah menitikberatkan pada perilaku atau kebiasaan siswa atau peserta didik.

3. Cognitivism

Para ahli kognitif memusatkan perhatian pada pengidentifikasian proses mental representasi internal dan sadar dunia yang mereka anggap penting untuk pembelajaran manusia. Fontana (1981) merangkum pendekatan kognitif untuk belajar sebagai berikut “pendekatan kognitif …. menyatakan bahwa jika kita ingin memahami pembelajaran kita tidak dapat membatasi diri kita pada perilaku yang dapat diamati, tetapi juga harus memperhatikan diri kita sendiri dengan kemampuan pembelajar secara mental mengatur kembali bidang psikologisnya (yaitu dunia konsep, ingatan, dan lain-lain) dalam menanggapi pengalaman”. Karena itu pendekatan yang terakhir ini menekankan tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada cara individu menginterpretasikan dan mencoba memahami lingkungan. Ia melihat individu sebagai produk yang agak mekanis dari lingkungannya, tetapi sebagai agen aktif dalam proses pembelajaran, dengan sengaja mencoba untuk memproses dan mengkategorikan aliran informasi yang diberikan kepadanya oleh dunia luar.

Kata kuncinya adalah pendekatan kognitif ini lebih baik. Pendekatan ini lebih mengembangkan proses belajar peserta didik. Artinya tidak boleh menjustifikasi anak. Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia, Sang guru harus melihat proses belajar anak atau peserta didik tersebut di kelas, bagaimana kemampuan bahasanya, bagaimana kemampuan anak tersebut dalam membuat puisi. Jadi, tidak melihat seberapa bagus puisinya tetapi dilihat dari proses sang peserta didik dalam membuat puisi tersebut.

4. Construktivism

Baik behavioris dan beberapa elemen teori kognitif pembelajaran bersifat deterministic, dalam arti bahwa perilaku dan pembelajaran diyakini berdasarkan aturan dan beroperasi di bawah kondisi yang dapat diprediksi dan konstan di mana pelajar atau peserta didik tidak memiliki atau sedikit kontrol. Namun, konstruktivis menekankan pentingnya kesadaran, kehendak bebas dan pengaruh sosial pada pembelajaran. Carl Roger (1969) menyatakan bahwa : “setiap individu ada dalam dunia pengalaman yang terus berubah di mana dia adalah pusatnya.”

Kata kunci : interaksi sosial atau social interaction. Artinya adalah teori pembentukan pengetahuan melalui komunikasi dalam 1 (satu) komunitas menekankan kepada interaksi sosial.

Maksudnya ada peserta didik dalam proses pembelajaran yang mengerti atau paham bila dijelaskan oleh teman sejawatnya. Contoh : dalam diskusi dan kerja kelompok.

IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, sebagai upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya ICT, Direktorat Pembinaan SMK juga mengimplementasikan program literasi komputer dengan menyebutnya sebagai literasi digital atau e-literasi, yaitu, kegiatan literasi yang berbasis elektronik/komputer,. Sulistyo Basuki, mengutip (Gilser:2007) dalam blognya menyebutkan bahwa Literasi Digital sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dan berbagi sumber digital. Dengan kata lain, kemampuan untuk membaca, menulis, dan berhubungan dengan informasi dengan menggunakan teknologi dan format pada masanya.

Dalam praktiknya di kelas, khususnya untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, siswa atau peserta didik belajar tidak hanya berpatokan pada buku tetapi bisa dari pemutaran film atau video sehingga proses pembelajaran di kelas menjadi menarik dan siswa atau peserta didik lebih mudah dalam menyerap materi yang ingin disampaikan oleh guru di kelas sehingga proses pembelajaran menjadi lebih efektif.

Artinya apa? bahwa dalam proses pembelajaran menggunakan teknologi di kelas, sang Guru dituntut untuk tidak banyak berbicara di kelas, melainkan harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Karena apabila sang guru banyak berbicara di kelas, kemampuan siswa dalam menyimak guru tersebut hanya bertahan 20 menit pertama. Maksudnya siswa atau peserta didik tadi daya konsentrasinya dalam menyimak guru berbicara di kelas hanya bertahan 20 menit saja, selanjutnya justru siswa tadi tidak dapat berkonsentrasi lagi dalam menyimak pembicaraan guru di kelas sehingga apa yang disampaikan oleh guru tadi tidak diingat semuanya oleh siswa atau peserta didik dan lama kelamaan siswa atau peserta didik tadi akhirya lupa semuanya. Oleh karena itu, sang guru harus menciptakan suasana yang menyenangkan dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan teknologi tadi. Kata kunci : Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, teknologi dapat dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan pembelajaran, meningkatkan kecepatan belajar, dan menigkatkan efisiensi pembelajaran.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dave Meier (Pakar Accelerated Learning) mengatakan bahwa “suasana menyenangkan jauh lebih penting daripada metode pembelajaran”. Artinya adalah bahwa apapun kurikulumnya yang penting ngajarnya menyenangkan. Hal ini saya dapatkan ketika mengikuti pelatihan Workshop berbasis “Quantum Teaching” yang diadakan oleh sekolah beberapa hari lalu.

Dalam pelatihan tersebut disampaikan bahwa bagaimana sel-sel otak membentuk perilaku atau biasa disebut dengan “Neurosains”. Kemudian bagaimana aktivitas motorik mempengaruhi otak yang menekankan bahwa emosi positif akan berpengaruh dalam kinerja otak. Dalam pelatihan tersebut, disebutkan menurut penelitian Psikolog Bulgaria yang bernama “DR.George Lozanov” mengatakan bahwa dalam belajar harus menciptakan :
1. Lingkungan yang baik
2. Tempat belajar yang nyaman
3. Cahaya yang terang
4. Motivasi yang luar biasa
Menurut Ippho Santosa dalam bukunya 13 Wasiat Terlarang Menjadi Dahsyat dengan Otak Kanan menyampaikan solusinya adalah guru-guru kini masih saja mengajar dengan tulisan. Memang, itu bukan dosa. Bukan pula kriminal. Akan tetapi tolong di-note, sehari-hari murid atau peserta didik dibombardir oleh visual, terbiasa dengan visual, dan berpikir secara visual. Tulisan versus visual, yah, pastilah visual yang lebih greget. Bukan itu saja. Berpikir visual juga terhitung unggul dari segi cepatnya mengolah informasi.

Referensi

Bates, A.W. (2015). Teaching In A Digital Age : Guidelines for Designing Teaching and Learning Vancouver BC : Tony Bates Associates Ltd. ISBN : 978-0-9952692-0-0 pp : 40-66

https://opentextbc.ca/teachigninadigitalage/chapter/3-3-cognitivism

Santosa, Ippho. (2008). 13 WASIAT TERLARANG! Dahsyat dengan Otak Kanan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Halaman 37

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan